rablueclouds

Nabastala jingga terlihat di ufuk barat, memperlihatkan belayung senja yang tampak indah di mata. Gadis dengan kedua manik cokelat itu terlihat indah dengan siraman sinar belayung senja. Sudah sekitar setengah jam dia berdiri di jembatan penyeberangan orang. Dia suka sekali berdiri di tempat ini, sekadar menikmati senja atau menenangkan pikirannya yang kalut. 

Lalu-lalang kendaraan terlihat jelas di bawah jembatan penyeberangan ini. Dia melirik kilas jam tangan lavender yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul enam sore rupanya. Melamun di tempat ini membuatnya larut dalam suasana dan waktu. 

Kejadian menyakitkan yang terjadi sejak satu minggu yang lalu tiba-tiba terlintas di kepalanya, membuatnya menghela napas kasar. Dia melihat jelas sekali perempuan itu memeluk dan memegang tangan Viktor. Sebenarnya dia bukan tipe orang yang mudah cemburu. Namun, kali ini berbeda. Perempuan itu adalah rasa insecure terbesarnya. Perempuan itu memiliki semua yang tidak ada pada dirinya dan dia yakin bahwa Viktor bisa saja jatuh cinta kapan pun dengan perempuan itu.

Helena, terkenal dengan kepintarannya di kalangan dosen dan mahasiswa, supel, ramah, dan memiliki paras yang cantik serta tubuhnya yang elok. Dia rendah diri sekali, merasa tidak pantas jika disandingkan dengan Viktor. Helena yang lebih pantas bila disandingkan dengan Viktor. Bahkan sebelum Viktor berpacaran dengan Rika, tak jarang Viktor dan Helena dijodoh-jodohkan dengan teman-teman mereka.

Dua hari yang lalu, dia mendapati perkataan yang menyakitkan dari Helena dan membuatnya menangisi dirinya semalaman. Viktor tidak mengetahuinya karena Rika tidak memberitahukannya. Dia tidak ingin Viktor tahu dan membuat semuanya menjadi runyam.

Sudah genap satu tahun mereka menjalani hubungan, kini rasanya Rika ingin menyerah terhadap Viktor. Walaupun dia tahu, Viktor tidak mungkin menyerah terhadap dirinya dan hubungan ini. Mengenai hubungan mereka, Viktor masih belum ingin untuk go public. Hal itu juga membuat Rika kembali over thinking. Rika ingin tahu bahwa Viktor itu sudah ada yang punya. Walaupun dia tahu bahwa Viktor selalu memberi batasan dalam pergaulannya dengan lawan jenis.

“Udah melamunnya?“ 

Rika terlonjak begitu melihat Viktor yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Dia kembali menatap sinis Viktor dan mengabaikannya. 

“Udah sore, ayo pulang,” ajak Viktor sembari menarik tangan Rika. 

Rika menepis tangan Viktor. Hal itu membuat Viktor tertegun. 

Dia sedang dalam masalah besar.

Viktor lebih memilih Rika meledak-ledak daripada diam seperti ini. Rasanya menyakitkan sekali tidak digubris dengan pacar sendiri.

“Rika, jangan kayak gini. Udah lima belas menit kamu diemin aku,” ucap Viktor.

“Aku enggak minta kamu ke sini.”

Kedua pupil Viktor membulat. Lalu, dia memejamkan kedua matanya sembari memijat batang hidungnya, terlihat frustrasi sekali dengan sikap Rika.

“Aku khawatir, Rika. Mana bisa aku biarin kamu sendirian di sini, sedangkan sekarang udah mulai gelap. Kamu pikir aku enggak punya otak, huh?” Viktor mulai tak terkendali.

Rika tak menggubris. Isi kepalanya kembali mengacau dan membuatnya larut sendiri dalam keheningan senja petang ini. 

“Rika—”

Let's break up.”

Sekali lagi, laki-laki itu kembali tercengang dengan apa yang diucapkan oleh Rika.

“Kenapa?”

“Aku …, capek. Kita putus aja, ya?”

Viktor menghela napas berat dan memejamkan kedua netranya sejenak. Dia harus menyelesaikannya dengan kepala dingin.

“Keluarin semua yang udah kamu pendam belakangan ini,” ungkap Viktor. 

Saat Rika ingin membuka bibir tipisnya untuk membalas perkataan Viktor, tiba-tiba ponsel milik Viktor yang berada di saku celananya bergetar, dia berdecak kesal. 

“Sebentar, dari Hasa. Aku jawab teleponnya dulu.”

Lalu, sedikit menjauh beberapa langkah untuk menjawab panggilan tersebut.

“Kenapa telepon gue?!”

Rika terlonjak saat Viktor membentak lawan bicaranya melalui telepon. 

“Emang manusia di kostan cuma gue?! Lo pergi sama yang lain atau sendiri bisa, kan?! Gue sibuk, bangsat! Jangan ganggu gue lagi, ngerti lo?!”

Rika terpekur saat Viktor melontarkan umpatan dengan lawan bicaranya itu. Walaupun Viktor berusaha untuk menjauh dari Rika saat menjawab telepon, suara Viktor tetap terdengar olehnya. Rika tahu bahwa Viktor bukan laki-laki yang mudah mengucapkan kata-kata kasar seperti itu.

Viktor memutus sambungan panggilan masuk tersebut secara sepihak tanpa mendengar balasan dari lawan bicaranya. Dia mematikan ponselnya dan memutuskan kembali menghampiri Rika. 

“Jangan di sini ngobrolnya. Kita pindah tempat,” ajak Viktor sembari meraih tangan Rika yang lagi-lagi dibalas dengan tepisan kasar oleh Rika.

“Aku mau kita udahan, Viktor!” tukas Rika.

“Kenapa? Kasih aku alasan yang jelas dan logis.”

“Aku! Alasannya ya aku, Vik!”

Tell me why?”

“Aku, enggak pantas buat kamu.”

Viktor mengusap kasar wajah dan rambutnya dan menghela napas kasar. “We've talked about this a lot, Rika.”

“Ya, dan kita enggak pernah nemu solusinya—”

Yes, we have! I've told you many times, don't listen to what other people say about you, about us! You always listen to them! But, you never listen to me!” ungkap Viktor frustrasi.

Genangan air mata mulai terkumpul di kedua mata gadis itu. Namun, dia berusaha keras untuk menahan diri agar tidak menangis. Dia benci menjadi cengeng di hadapan laki-laki ini.

“Tapi, apa yang dia bilang itu bener. Aku emang enggak pantas buat kamu. Aku beda sama dia. Semuanya ada di diri dia—”

“Dia? Bilang sama aku, siapa yang kamu maksud dia?” pungkas Viktor dengan air muka yang berubah menjadi dingin dan datar.

Rika terdiam. Dia tidak berani menatap Viktor. 

Look, sayang, kamu bisa cerita apapun sama aku,” tutur Viktor, kini air mukanya terlihat melunak, tatapannya lembut sekali.

Rika tidak dapat menahan tangisnya. Ya, tangisnya pecah begitu saja sembari berkata, “Dia bilang aku enggak pantes sama kamu, aku enggak good looking, enggak berprestasi kayak dia. Kalau boleh jujur, selama satu tahun ini, dia itu, insecure terbesar aku, Vik, selama aku pacaran sama kamu. Aku ….”

Tangis Rika semakin kencang. Viktor terlihat panik, tak banyak yang bisa dia lakukan selain langsung menarik gadis itu untuk masuk ke dalam dekapannya sembari sesekali mengecup puncak kepala gadis itu dan mengusap-usap pundaknya. Sakit sekali rasanya melihat Rika seperti ini. Dia sudah berusaha keras untuk membangun kepercayaan diri gadis ini agar selalu percaya diri dan ceria. Tapi, ada saja orang yang menghancurkan usahanya dalam sekejap.

“Ssshh ..., you are enough, honey. You are enough for me,” tutur Viktor sembari terus mengusap pundak Rika.

No, i'm not,” sahut Rika di tengah-tengah isakannya.

“Siapa yang bilang kayak gitu ke kamu?”

Rika terdiam, tidak berani menjawab.

Viktor menghela napas pelan. “You can tell me anything, sayang.”

“Tapi, janji ya jangan ngapa-ngapain orang itu?”

Viktor mengulum senyum simpul. “I'm sorry, can't promise.

“Helena.”

Viktor tertegun sejenak. “Helena?”

Rika mengangguk pelan.

“Apa-apaan sih dia? Berani-beraninya dia bikin pacar aku insecure dengan kata-katanya yang enggak bermutu. Padahal dia juga belum tentu lebih baik dari kamu,” geram Viktor.

“Vik, jangan aneh-aneh, ya? Dia perempuan, lho, sama kayak aku.”

“Nanti aku tegur dia.”

“Pelan-pelan, ya tegurnya? Jangan kasar.”

“Tapi, dia udah kasar sama pacar aku.”

“Ya kan kamu cowok, coba dong kamu bayangin kalau aku ini dikasarin sama cowok? Gimana? Kamu bakal marah kan?”

Viktor menghela napas pelan. “Iya. Nanti aku tegur dia pelan-pelan.”

“Janji enggak kasar?”

“Iya, sayang. Janji.”

Viktor memejamkan kedua netranya sejenak. Lalu, kembali berkata, “Aku minta maaf ya, sayang.”

Rika melepaskan diri dari dekapan Viktor. “Kamu enggak salah apa-apa. Kenapa harus minta maaf?”

“Aku minta maaf karena enggak pernah tau tentang insecure terbesar kamu. I thought I knew you well, but I don't. I'm truly sorry for that,” ungkap Viktor dengan raut wajah sedih.

Rika menggeleng pelan kepalanya. “Seharusnya aku bisa handle rasa insecurities yang aku punya. Kamu pasti capek ya sama aku? Kamu pasti juga capek sama hubungan ini kan?”

Viktor menghela napas pelan. Dia mengulum senyum, senyumnya terlihat hangat dan menenangkan sekali. “Rika, listen carefully. Kalau aku capek sama kamu, sama hubungan kita, sejak awal aku udah putusin buat berhenti. Buat apa aku nunggu kamu sampai bertahun-tahun? Nunggu kamu peka, lalu sempat menerima penolakan dari kamu, dan rela nunggu kamu putus dari mantan kamu, itu semua enggak mudah. Aku enggak mau mempermasalahkan tentang seberapa sulitnya aku buat dapetin kamu. Tapi, satu hal yang harus kamu tau. Aku, enggak akan menyerah untuk mempertahankan apa yang udah aku dapetin. Termasuk kamu dan hubungan kita. Selama masih bisa dipertahankan, aku akan berjuang untuk itu.”

“Vik?”

“Ya, sayang? Ada lagi yang mau kamu ungkapin? Keluarin semuanya, ya. Anggap aja ini evaluasi buat hubungan kita ke depannya,” tutur Viktor.

“Maaf. Aku bakalan berusaha untuk lebih baik lagi,” ucap Rika.

Satu hal yang akan dan selalu Rika sukai dari laki-laki ini adalah; kesabarannya dalam menghadapi situasi sulit di dalam hubungan mereka.

Satu hal yang akan dan selalu Viktor sukai dari perempuan ini adalah; selalu ingin belajar dan terus belajar mengenai situasi sulit di dalam hubungan mereka.

“Vik.”

“Iya, sayang?”

“Makasih ya, karena enggak pernah menyerah sama aku dan hubungan kita.”

Viktor tersenyum kecil. “Soalnya kalau aku nyerah sama kamu, nanti bahan kejahilan aku jadi berkurang. Terus, nanti siapa yang melatih kesabaran kamu kalau bukan aku?”

Viktor mendapat cubitan di lengannya serta tatapan tajam dari kekasihnya itu.

“Bercanda, sayang. Makasih juga, ya. Karena kamu selalu mau belajar. Aku boleh minta satu hal enggak sama kamu?”

“Apa?”

Viktor menghela napas pelan, lalu bibirnya melengkung ke bawah dengan kedua mata yang berbinar—tampak sedih sekali seperti anak kecil yang baru saja bertemu dengan ibunya setelah sekian lama berpisah. “Jangan kasih aku silent treatment lagi, ya? Serius, aku enggak sanggup. Soalnya enggak bisa charger energi. Apa lagi kalau lagi kangen. Gila, nyiksa banget.”

Rika mengernyitkan dahinya saat melihat tingkah aneh Viktor, terlihat menggemaskan sekali. Lantas dia tertawa, lalu memeluk Viktor sekali lagi sembari menepuk-nepuk pelan pundak Viktor.

“Iya, iya. Aku minta maaf deh.”

“Kamu boleh marah-marah sama aku sesuka kamu, tapi jangan kasih aku silent treatment kayak kemarin-kemarin lagi. Karena aku juga bingung, kamu ditelepon enggak dijawab, aku chat kamu enggak dibales, dan kalau ketemu aku, kamu selalu menghindar. Jangan kayak gitu lagi, ya?”

Rika mengangguk-angguk pelan. “Iya, maaf ya.”

“Utututu, jangan minta maaf terus dong. Sini, sun (cium) dulu dong—”

“Heh, heh! Apa sun sun (cium cium)! Mau kena bogem nih?!” tukas Rika sembari mengepalkan tangannya tepat di hadapan wajah Viktor.

Namun, Viktor berhasil mencium pipi Rika dengan secepat kilat. Lalu, dia berlari sebelum Rika benar-benar melayangkan bogem mentah ke wajahnya.

“VIKTOR, ANJIR!”

“MAAF, SAYANG. SOALNYA KAMU GEMES BANGET!” balas Viktor sembari terus berlari.

Rika melambaikan tangannya kepada Viktor yang baru saja menyudahi kegiatannya bermain basket. Dia berpamitan dengan teman-temannya dan melipir ke tepi lapangan basket untuk menghampiri Rika. Tanpa Viktor sadari, seseorang melihatnya dengan tatapan tajam.

Hey,” sapa Viktor sembari mendaratkan bokongnya di sebelah Rika.

Rika mengeluarkan dua buah kotak makan dari paper bag yang dibawanya. Viktor melepas seragam kemejanya, lantas menyampirkan kemejanya di pundaknya, tersisa kaus putih polos yang melekat di tubuhnya.

“Lo bawain gue makanan apa?” tanya Viktor penasaran.

“Racun tikus,” ketus Rika.

Viktor memicingkan kedua matanya. “Jangan mulai cari perkara, ya.”

Rika menghela napas pelan. “Ya enggaklah, anjir! Makanannya cuma gue kasih sedikit obat pencahar aja, sih.”

Rika memberikan satu kotak makan kepada Viktor. Dia terdiam sejenak setelah membuka tutup kotak makan tersebut, lalu menatap kotak makan tersebut lamat-lamat. Rika mulai membuka kotak makan miliknya, lantas melirik Viktor yang masih menatap kotak makan yang sudah dibukanya.

Rika tertawa renyah. “Gue bercanda, Vik. Makanannya aman, kok.”

Viktor menggeleng pelan. “Bukan, bukan itu. Uhm..., maksud gue, berarti makanan ini tadinya mau lo kasih ke Rivan, ya?”

Rika tersenyum kecut, lalu mengangguk pelan.

Ah, sudah dia duga. Entah mengapa, rasanya separuh nafsu makan Viktor berkurang. Dia tahu bahwa Rika tidak mungkin memberi makanan kepadanya secara cuma-cuma seperti ini.

Rika yang menyadari perubahan raut wajah Viktor pun menegurnya. “Lo enggak suka menu makanannya, ya?”

Viktor yang larut di dunia lamunannya seketika tertampar ke dunia nyata. “Ah, suka, kok. By the way, thanks, ya.”

Rika tersenyum kecil dan mengangguk. “Bukan apa-apa kok. Lain kali, gue buatin spesial buat lo deh. Emangnya lo suka apa? Biar gue buatin nanti.”

Viktor menyuapkan sesendok nasi goreng beserta lauk-pauk ke dalam mulutnya. “Apwa awjwa ywang lo bwawain gue swuka kwok.”

Rika berdecak kesal. “Kunyah dan telen dulu itu makanan yang ada di mulut, baru ngomong.”

Mulut Viktor yang penuh dengan makanan tersenyum riang.

'Kok dia jadi gemes kayak gini sih, anjir,' batin Rika.

Viktor melambaikan tangannya tepat di wajah Rika. Dia bingung ketika Rika terus menatapnya tanpa berkedip sedikitpun.

“Rika? Hello?”

Rika masih tetap berkecamuk di dunia lamunannya. Viktor tersenyum jahil, dia memberikan thumb kiss—mengecup ibu jarinya dan menempelkannya di pipi kanan Rika. Rika refleks mendelik, lalu memegang pipinya.

“Makanya jangan asyik sendiri sama dunia lamunannya,” tutur Viktor seraya tertawa pelan.

Viktor kembali melanjutkan makannya sambil sesekali bercanda yang terkadang membuat gadis itu terlihat kesal, namun di sisi lain ikut tertawa.

Sementara itu, Rivan yang sedari tadi sudah tampak gerah dengan perlakuan Viktor, akhirnya memutuskan untuk menghampiri Viktor dan Rika.

“Katanya tadi mau ke kelas gue. Kenapa jadi ketemu sama dia?” tanya Rivan sembari menatap tajam ke arah Viktor yang sedang asyik makan.

Dia menyadari kehadiran Rivan, tetapi memilih untuk tidak menggubrisnya.

“Lo ngapain sama dia?” tanya Rivan kepada Viktor.

“Rika, thanks ya, gue suka makanan buatan lo, enak. Besok bawain gue makanan buatan lo lagi ya,” puji Viktor sembari tersenyum simpul. Dia tidak menggubris pertanyaan Rivan.

Rivan pun murka dan mulai meninju Viktor.

BUGH!

BUGH!

Rivan mendorong Viktor hingga terjerembap ke lantai, lalu menghantam wajah Viktor dengan tangannya hingga beberapa kali. Viktor tidak diam begitu saja, dia pun melawan sekuat tenaga.

“Gue ngomong sama lo, bangsat! Lo tuli atau gimana?! Ngapain lo sama dia?! Apa tujuan lo ngedeketin Rika, bangsat?!” geram Rivan.

Beberapa siswa-siswi mulai berkerumun melihat perkelahian antara Rivan dan Viktor di lapangan basket. Tidak ada yang berani memisahkan mereka, terlebih lagi setelah mengetahui bahwa yang bertengkar adalah Rivan dan Viktor. Desas-desus mengenai alasan mereka bertengkar mulai terdengar, mengingat Rivan dan Viktor sebelumnya merupakan teman dekat—tentunya sebelum Viktor berteman dengan Jevan dan yang lainnya.

Beberapa siswa-siswi sibuk mengambil gambar atau video dengan gawai mereka. Sementara itu, Rika terlihat ketakutan, dia berusaha untuk melerai, tetapi berujung dirinya yang terkena pukul oleh Viktor. Viktor yang berniat untuk meminta maaf kepada Rika, malah berujung mendapat pukulan yang membabi buta dari Rivan setelah melihat Rika terkena pukul oleh Viktor.

Tak lama, Jevan, Dimas, dan Ardio. muncul. Jevan menarik Rivan untuk menjauh dari Viktor, sedangkan Ardio membantu Viktor untuk berdiri.

“Lo semua goblok apa gimana sih?! Ada orang berantem bukannya dilerai, malah dijadiin bahan tontonan! Kalian pikir mereka lagi tanding di ring tinju?! Sumpah, lo semua gobloknya murni! Susu sapi kalah murninya sama kegoblokan kalian!” cerca Dimas dengan tatapan nanar hingga mukanya pun memerah karena emosi.

“Bagi yang merekam video or take their picture, delete it right now. I beg you guys. Kalau gue lihat nanti foto atau video mereka tersebar di sosial media manapun, kalian berurusan sama gue di ruang MPK,” tukas Jevan dengan tatapan dingin.

Wibawa Jevan yang notabenenya sebagai ketua MPK terasa menguar dan membuat beberapa siswa-siswi takut. Sebenarnya dia bukan tipe ketua MPK yang galak dan dingin. Bahkan, dia dikenal dengan keramah-tamahan dan murah senyumnya kepada siapapun. Namun, jika sedang serius seperti ini bisa membuat siswa-siswi merasa segan.

Beberapa siswa-siswi yang berhasil mengambil foto atau video mulai menghapus video atau foto yang mereka ambil. Namun, ada juga yang berhasil menyebarkannya di base twitter.

Beberapa siswa-siswi pun mulai bubar. Setelah itu, Dimas menyadari Rika yang sedang duduk ketakutan dengan luka lebam di sudut bibirnya.

“Ini, Rika kenapa? Ada yang bisa jelasin? Dia sudut bibirnya luka lho,” cerocos Dimas sembari berjongkok di samping Rika.

Rika tidak menjawab, tangannya masih terlihat bergemetar.

“Jangan bilang, pas dia mau lerai kalian, tapi malah kena pukul salah satu di antara kalian?” sangka Jevan dengan tatapan mengintimidasi.

Rivan melepaskan dirinya dari Jevan dengan kasar. “Lo tanya aja sendiri sama temen lo yang bego itu.”

Lalu, Rivan menarik Rika pergi meninggalkan Viktor dan yang lainnya. Viktor merasa bersalah dan menatap kepergian Rika dengan tatapan sedih.

“Vik,” tegur Jevan dengan tatapan yang meminta penjelasan kepada Viktor mengenai apa yang terjadi dengan Rika.

“Gue enggak sengaja, Jev, sumpah!” pungkas Viktor.

“Terus, kenapa tiba-tiba begini?” tanya Jevan, lagi.

Viktor berdecak kesal. “Gue cuma membela diri, Jev. Salah gue?”

“Enggak ada yang nyalahin lo di sini. Gue cuma mau lo jelasin, apa penyebabnya dan kenapa tiba-tiba begini?”

“Dia yang cari perkara duluan! Gue lagi makan bareng Rika di sini. Terus dia nyamperin gue dan Rika. Gue enggak tau apa penyebabnya karena dia tiba-tiba mukul gue. Dan ya, apa yang dibilang lo itu benar.”

Clisé. Dia cemburu karena lo dekat sama Rika. Lo tau sendiri 'kan mereka dekat banget sampai dikira pacaran. Sementara itu, lo dan Rika baru dekat belakangan ini, 'kan? Itu pun kalian dekat, karena Bu Jena tunjuk kalian jadi perwakilan sekolah buat ikut kompetisi kimia,” duga Dimas dengan dengkusan kesal.

“Cemburu? Rivan bego. Rika aja enggak suka sama gue,” gerutu Viktor.

Ouch, so sad, Dude,” ucap Dimas dengan dramatis sembari memegang dadanya, pura-pura kesakitan, “lagi pula ya, Rivan mana tau kalau Rika enggak suka sama lo, bego!”

“Pusing gue. Complicated banget kisah percintaan lo,” celetuk Ardio yang sedari tadi terdiam.

Viktor berdecak kesal melihat reaksi Dimas.

“Ya udah, sekarang kita perlu ke ruang kesehatan. Luka lebam lo perlu diobatin sebelum rasa nyerinya makin parah,” saran Ardio.

Viktor setuju dengan saran Ardio. Viktor dan Ardio pun pergi ke ruang kesehatan. Jevan dan Dimas tidak ikut ke ruang kesehatan karena ada urusan yang perlu diurus. Sesampainya di ruang kesehatan, Viktor terdiam sejenak saat kedua matanya menangkap pemandangan yang tak terasa membuat tangannya mengepal.

Ardio melirik kilas Viktor, dia tahu apa yang dilihat Viktor saat ini. Rika sibuk mengobati luka di wajah Rivan.

“Apa perlu gue labrak mereka?” tanya Ardio.

“Lo berani?”

“Enggak.”

“Dasar bego! Ya udah, biar gue aja yang labrak mere—”

“Kak Viktor!” seru seseorang yang baru saja tiba di ruang kesehatan sekolah dengan napas tersengal-sengal, sepertinya dia ke sini berlari dengan tergesa-gesa.

Orang yang baru saja datang dan menghampiri Viktor adalah Elma. Air mukanya terlihat khawatir saat melihat beberapa luka lebam di wajah Viktor. Sementara itu, Ardio bergegas menyiapkan peralatan dan obat untuk mengobati luka lebam Viktor.

“Ya ampun, luka lebam di muka Kak Viktor lumayan banyak. Itu pasti sakit banget ya, Kak?” tanya Elma sembari menyentuh salah satu lebam di wajah Viktor.

Viktor meringis pelan. “Enggak kok. Lagi pula, nanti juga sembuh. Oh, by the way ada perlu apa ke sini?”

“Aku khawatir sama Kak Viktor. Aku dengar tadi Kak Viktor berantem sama Kak Rivan. Benar, Kak?” tanya Elma sembari melirik Rivan yang sesekali melirik sinis Viktor.

“Vik, sini. Gue mau obatin luka lebam lo,” kata Ardio yang sudah menyiapkan obat dan menyuruh Viktor duduk tidak jauh dari tempat Rivan dan Rika.

Viktor tersenyum simpul, lalu mengacak-acak pelan rambut Elma. “Lo enggak perlu khawatir lagi, oke? Sekarang gue baik-baik aja.”

Kemudian Viktor duduk di dekat Ardio. Elma tetap mengikuti Viktor.

“Kak Ardio, biar aku aja yang obatin lukanya Kak Viktor, ya? Please?” pinta Elma.

Ardio melirik Viktor, bermaksud untuk meminta persetujuan dari Viktor. Viktor meresponnya dengan helaan napas dan anggukan pelan.

“Ya udah, hati-hati. Cuci tangan lo dulu sebelum obatin luka lebam Viktor. Gue tinggal dulu, Vik. Ada urusan sama anak-anak fotografi,” ucap Ardio.

Thanks, Ar.”

Sementara Elma mengobati luka lebam di wajah Viktor sembari terus mengoceh, Viktor tidak mendengarkan celotehan Elma. Atensinya justru terfokus dengan Rika yang kini sedang diobati dengan Rivan.

'Gue emang bukan siapa-siapanya dia dan enggak ada hak untuk cemburu. Tapi, hati gue sakit lihat dia berduaan sama Rivan. Duh, tau diri lo Viktor bego,' gumam batin Viktor.

“Kak Viktor?” tegur Elma.

Viktor tidak menggubris. Elma baru sadar bahwa ternyata Viktor sedari tadi terfokus dengan Rika. Elma menghela napas berat, ternyata Viktor sedari tadi mengabaikannya.

“Kak Viktor?” panggil Elma sekali lagi seraya menepuk pundak Viktor.

“Eh, udah selesai, El?”

Elma mengulum senyum simpul. “Kak Viktor suka sama Kak Rika, ya?”

Viktor tertegun mendengarnya. Dia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Lalu, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Emang kenapa?”

“Kentara banget, Kak. Karena dari tadi mata Kak Viktor enggak lepas dari Kak Rika,” jawab Elma seadanya.

Viktor tersenyum getir. “Lo pernah enggak sih, cemburu sama seseorang yang bukan siapa-siapa lo? Bahkan, lo enggak punya hak untuk itu.”

“Pernah dan sekarang lagi mengalami, sih,” jawab Elma sekadarnya sembari menatap Viktor dengan tatapan yang sangat dalam.

Viktor refleks mengalihkan atensinya dari Rika dan menatap Elma dengan penuh tanda tanya. “How it feels, El?”

I'm sure you know how it feels, Kak.”

Ya, it's killing me.

“Kalau gitu, kenapa enggak lepasin dia?”

“Enggak semudah itu, El. Because I love her. She's my first love, by the way.

Pupil mata Elma membesar, terlihat kaget dengan apa yang diucapkan oleh Viktor.

“Dia cinta pertama Kak Viktor?”

Viktor kembali mengalihkan atensinya kepada Rika, lalu berkata dengan tatapan sendu dan senyum simpul di bibirnya, “Ya, she is.”

“Kalau gitu, gue balik ke kelas duluan ya, El. By the way, thanks, ya.”

“Tunggu, Kak,” cegah Elma sembari menahan lengan Viktor.

“Ya?”

Bibir mungil gadis itu terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Namun, rasanya tertahan.

“El? Elma?”

Elma melepaskan tangannya dari lengan Viktor. Lantas, menggeleng pelan. “Nothing.

Viktor berbalik menghadap Elma. “Ada sesuatu yang mau lo omongin?”

“Enggak ada, kok.”

“Lo kalau bohong gue cium, ya?”

“Kak Viktor?!”

“Bercanda, El. Bisa-bisa gue ditonjok sama Dimas,” tutur Viktor yang diakhiri tawa kencang sampai mencuri perhatian orang-orang di sekitarnya.

Rika pun sempat beradu tatap dengan Viktor. Viktor dengan cepat mengalihkan perhatiannya dan merangkul Elma keluar dari ruang kesehatan. Tentunya Elma sangat terkejut dengan perbuatan Viktor. Dia tahu bahwa Viktor sengaja melakukannya karena Rika sedang melihat ke arahnya dan Viktor.

Elma pun melakukan improvisasi—memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

'Rika, maaf,' batin Viktor.

“When you love someone, but it goes to waste. Because she loves someone else.”

Langit malam terlihat sendu, rembulan menyembul malu di balik awan-awan tipis. Dia sudah sampai di depan sebuah tempat di mana pacarnya berada. Lalu-lalang orang terlihat di pintu masuk tempat ini. Sudah sekitar sepuluh menit dia berada di luar setelah turun dari ojek online.

Berbekal nekat dan rasa yang bercampur aduk memenuhi dadanya, dia ke tempat ini seorang diri. Awalnya dia ingin meminta ketiga teman dekatnya untuk menemaninya. Tetapi, mereka tidak bisa. Terbesit di pikirannya untuk meminta Viktor menemaninya, tapi dia merasa sudah terlalu banyak merepotkan Viktor akhir-akhir ini. Jadi, kali ini dia lebih memilih untuk menghadapinya sendiri.

Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kedua tangannya terasa dingin, jantungnya berdegup kencang—gugup bukan karena akan bertemu dengan pacarnya, melainkan dia khawatir dengan apa yang akan dihadapinya nanti.

Kedua kakinya melangkah memasuki tempat berbau minuman beralkohol itu. Oh, dia sangat membenci tempat ini. Suara musik menggema ke seluruh ruangan dengan volume yang sangat keras, mengisi lorong telinga gadis itu. Benar-benar dia ingin segera keluar dari tempat ini. Tempat ini membuat telinganya sakit.

Kedua matanya menyapu ke sekitar ruangan. Dia tidak menemukan siapapun. Dia menerobos gerombolan orang yang sedang asyik menari dengan iringan musik yang memekakan telinga. Kedua matanya menemukan meja bar dengan beberapa barista yang sibuk melayani pengunjung.

Rika tidak menemukan pacarnya di sana. Lalu, dia kembali menelusuri ruangan lain di tempat ini. Dia memasuki ruangan yang tidak terlalu ramai dari ruangan sebelumnya. Kedua netranya menyipit saat melihat cahaya kerlap-kerlip yang berasal dari lampu disko di ruangan ini. Dia berusaha untuk masuk ke ruangan itu lebih dalam lagi. Kedua netranya menangkap sesuatu yang menarik atensinya.

Jantungnya mencelos, kedua netranya memanas dan berair, dadanya terasa sesak bak dihantam beban ratusan kilogram. Kedua kakinya yang terasa lemas berusaha untuk menghampiri sesuatu yang dilihatnya itu.

Dia, sosok laki-laki yang sedari tadi dicarinya sedang bercumbu dengan seorang perempuan. Pemandangan yang membuat hatinya pilu sekaligus geram. Dia menarik perempuan itu dari dekapan Rivan. Sontak, kedua manusia itu terkejut bukan main saat melihat kehadiran Rika. Aroma menyengat alkohol membalut kedua manusia itu dan menusuk indra penciuman gadis itu.

PLAK!

Tanpa ada sepatah kata yang terlontar, Rika mendaratkan tamparan ke pipi kanan Rivan. Rivan terkejut melihat perbuatan Rika terhadap dirinya.

“Lo jahat, ya, Van. Setelah semua yang udah gue lakuin buat lo, ini balasan lo ke gue? Gue kecewa banget sama lo, Van. Kita sampe sini aja, ya? Gue udah enggak sanggup lagi, Van,” tutur Rika dengan suara gemetarnya. Dia berusaha untuk tidak menangis, walaupun sudah jelas kedua matanya berair dan sebentar lagi air matanya turun deras melalui pelupuk matanya.

Kedua kaki Rika balik kanan meninggalkan kedua manusia laknat itu. Tentu saja Rika tidak ingin mendengar segudang alasan mengenai omong kosong laki-laki itu. Sementara itu, Rivan tidak diam saja melihat Rika pergi dan memilih untuk menyusul Rika dengan sisa tenaganya. Kepalanya yang terasa pusing dan kesadarannya yang mulai berkurang membuatnya menabrak beberapa orang di hadapannya saat sedang berjalan.

Rika masih terus berusaha keluar dari ruangan ini dengan air mata yang terurai dan isak tangis yang tertahan. Begitu sampai di luar, dia menepi di tempat parkir dan menumpahkan seluruh tangisnya di sana.

Rivan yang berjalan terhuyung-huyung berhasil menemui Rika di tempat parkir. Rika berusaha menjaga jarak dengan laki-laki itu.

“Rika, ini enggak kayak yang kamu pikirin—”

“Apa?! Apa lagi, Van?! Lo enggak lebih dari sekadar manusia jahat buat gue! Lo tega hancurin semuanya! Gue berusaha mati-matian buat enggak berpikiran buruk tentang lo akhir-akhir ini! Tapi, sekarang lo malah mewujudkan semua pikiran buruk gue tentang lo itu jadi nyata! Lo berengsek, Van!” geram Rika dengan kedua pipinya yang sudah basah.

Rivan tidak tahan dengan rasa pusing di kepalanya. Dia terjatuh dan memuntahkan isi perutnya. Rika ingin menampar Rivan sekali lagi. Tetapi, dia tidak tega melihat keadaan laki-laki ini.

“Rika—”

“Diem!” bentak Rika, dia mengambil beberapa helai tisu untuk mengelap mulut Rivan—bayangan kejadian tadi masih menghantuinya saat melihat bibir tipis laki-laki itu. Dengan rasa kesal yang membuncah dia mengelap bibir laki-laki itu.

Tiba-tiba, Rivan memeluk Rika dengan sangat erat.

“Aku sayang sama kamu. Don't leave me, baby, please. I can't imagine how ruined my life would be without you. Please, don't leave,” racau Rivan.

Rika mendorong Rivan. Dia tidak pernah percaya dengan perkataan seseorang yang sedang mabuk seperti ini. Setelah Rika melepas pelukannya, Rivan malah meraih tangan Rika.

“Rika, aku enggak mau putus. I'm begging you, honey, Ini semua cuma salah paham,” tutur Rivan.

Rika melepaskan tangan Rivan dan meletakannya di atas paha Rivan.

“Maaf, gue udah kecewa banget sama lo, Van. Gue udah enggak sanggup dan enggak bisa lagi. Kita sampe sini aja, okay?”

No, please—”

Rika menyeka air mata di pipinya yang kembali mengalir. Kemudian, dia sibuk menyentuh layar ponselnya, memesan taksi online untuk membawa Rivan pulang. Tak butuh waktu lama, taksi pun datang. Rika menitipkan Rivan kepada sopir taksi online tersebut.

Saat Rika memapah Rivan untuk masuk ke dalam mobil dibantu dengan sopir tersebut. Saat Rika memutuskan untuk keluar dari mobil, Rivan kembali menahan lengannya.

“Kamu enggak ikut pulang? Ayo, kita pulang, sayang. Besok kita kan mau date. Udah lama kita enggak quality time bareng. Ayo, kita pulang,” racau Rivan.

Rika melepas lengannya dari tangan Rivan dan segera keluar dari mobil. Lantas, menutup pintu mobil.

“Pak, tolong antar dia sesuai alamat ya,” ucap Rika.

“Oh iya, Mbak. Maaf, Mbak enggak ikut Masnya pulang juga?”

“Oh, enggak, Pak. Saya masih ada urusan. Kalau gitu, makasih banyak ya, Pak.”

“Oke, sama-sama, Mbak.”

Mobil yang ada di hadapan Rika pun pergi. Tersisa Rika sendiri dengan langit malam yang ikut merasakan kesedihannya. Rika kembali menangis. Kepalanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi setelah ini.

Bagaimana dia hidup tanpa teman kecil sekaligus pacarnya itu?

Dia sudah lama sekali kenal dengan laki-laki itu dan melalui segala hal bersama-sama. Lalu, sekarang hubungannya hancur tak tersisa hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Rivan. Setega itu dia dengan dirinya? Sakit dan menyesakkan sekali rasanya mengingat kejadian tadi.

Dia memutuskan untuk berjalan entah ke mana. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya. Dia merutuki dirinya yang hanya memakai cardigan tipis, seharusnya tadi dia memakai hoodie saja.

Kedua kakinya membawa dirinya ke sebuah toserba tempat di mana salah satu teman dekatnya, Alkana, bekerja part-time. Namun, saat ini Alkana sedang tidak masuk bekerja. Rika memutuskan untuk membeli satu botol minuman beralkohol yang berasal dari negara ginseng dan beberapa camilan. Lalu, dia memutuskan untuk duduk di tempat duduk yang tersedia di depan toserba.

Ponselnya yang berdering hingga beberapa kali tidak dihiraukannya. Dia menatap sebotol minuman beralkohol yang ada di hadapannya sekarang. Sebelumnya dia tidak pernah meminum minuman beralkohol dan ini untuk pertama kalinya dia membeli minuman seperti ini. Ponsel yang dia letakkan di atas meja terus berdering. Dia melirik kilas layar ponselnya, menatap Id caller yang tertera. Panggilan masuk tersebut ternyata dari Viktor.

Beberapa pesan singkat juga ikut membanjiri notifikasi ponselnya. Dia membaca pesan masuk yang tidak lain adalah dari Viktor. Pesan singkat tersebut berisi tentang kekhawatiran Viktor mengenai keberadaannya.

Dia tertawa hampa. Betapa lucunya laki-laki ini. Kenapa dia begitu mengkhawatirkannya? Viktor dan Rika hanyalah sekadar teman satu kampus dan satu fakultas saja. Bukan sahabat, pacar, atau teman kecil seperti Rivan. Namun, Viktor selalu ada dan siap saat dia membutuhkan bantuannya.

Rika tidak tahu mengapa laki-laki ini begitu baik dengannya. Padahal, Rika sudah sering sekali merepotkannya dan membuatnya kesal.

Apakah laki-laki itu masih menyukainya? Bahkan hingga saat ini? Sekalipun Rika sudah pernah menolaknya? Entahlah, dia tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mengelilingi kepalanya.

Akhirnya Rika memutuskan untuk membalas pesan singkat dari Viktor. Awalnya, Rika tidak ingin memberitahu mengenai keberadannya kepada Viktor. Namun, Viktor sangat memaksanya dan Rika juga butuh teman untuk sekadar menemaninya saat ini. Air matanya kembali turun saat menjelaskan keberadaannya saat ini kepada Viktor melalui pesan singkat.

Sekitar dua puluh menit, Viktor sampai dengan motor ninja birunya. Dia memarkirkan motornya dan langsung menghampiri Rika. Betapa terkejutnya Viktor saat melihat Rika mulai menuangkan minuman beralkohol itu ke dalam gelas.

Saat Rika selesai menuang minuman tersebut, Viktor segera duduk di hadapan Rika dan mengambil gelas tersebut, lantas meneguknya. Rika terperangah dengan kehadiran Viktor sekaligus mendapat tatapan tajam darinya.

Viktor mengernyitkan dahinya saat meneguk minuman beralkohol tersebut. Viktor sudah lama sekali berhenti meminum minuman beralkohol seperti ini.

“Lo dateng-dateng nyebelin banget deh! Itu kan buat gue! Kenapa lo minum?!” gerutu Rika.

Viktor tidak menanggapi perkataan Rika. Dia mengambil botol minuman tersebut dan menuang seluruh air minuman tersebut ke saluran air yang tidak jauh dari tempat mereka duduk. Rahang bawah Rika terjatuh ke bawah—terkejut dengan perbuatan Viktor. Setelah membuang isi botol dan membuang botol tersebut ke tempat sampah, Viktor kembali duduk di hadapan Rika.

“LO KOK MALAH BUANG MINUMANNYA SIH?! LO NGESELIN BANGET, ANJIR! PERGI LO SANA!” murka Rika dengan napas yang terengah-engah.

Viktor menatap Rika dengan tatapan datar. Lalu mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. “Udah marah-marahnya?”

Rika berdecak kesal. Air matanya tiba-tiba kembali turun, tentunya masih dengan air mukanya yang kesal. Gadis itu berkali-kali mengusap pipinya yang basah akibat air mata yang terus mengalir tiada henti.

Viktor menghela napas pelan. Dia menarik kursinya mendekati Rika. Lalu, Viktor menarik Rika masuk ke dalam dekapannya.

“Rivan..., Rivan jahat, Vik. Rivan berengsek, gue kurang apa sih? Kenapa dia selingkuhin gue?” racau Rika yang tangisnya pecah dan terdengar kencang.

Viktor mengusap-usap lembut pundak dan puncak kepala Rika. Sakit sekali rasanya melihat perempuan yang disukainya menangis seperti ini.

'Seharusnya gue yang jadi pacar lo, Rika. Seharusnya gue, bukan Rivan. Sakit banget gue liat lo kayak gini. Rivan bajingan, gue bikin bonyok lo besok,' gumam batin Viktor.

“Ssshh..., you are enough, pwetty. Lo enggak kurang, tapi dianya yang enggak bisa bersyukur dan enggak bisa menghargai lo sebagai ceweknya. Dia selingkuh bukan berarti bahwa lo itu kurang. Enggak, Rika. Enggak sama sekali. Lo cukup, setidaknya buat gue,” tutur Viktor.

“Terus, kenapa dia selingkuh?”

“Ya kayak yang tadi gue bilang, dia enggak bisa menghargai lo sebagai ceweknya dan kurang bersyukur. Dan emang dasarnya aja dia bajingan. You don't deserve him, pwetty. Air mata lo terlalu berharga buat nangisin seonggok manusia laknat kayak dia. Udah ya, berhenti nangisnya, you deserve someone better than him. Gue sakit liat lo nangis kayak gini, Rika.”

Rika melepaskan diri dari Viktor dan menatap Viktor. “Kenapa?”

Viktor menaikkan kedua alisnya dengan bingung. “Kenapa apanya?”

“Kenapa lo baik banget sama gue?”

Viktor terdiam. Pertanyaan itu tidak akan pernah bisa dijawabnya secara gamblang lagi.

“Apa karena lo masih suka sama gue?”

Viktor tersenyum hampa. “Jawabannya iya dan akan selalu. Rika, gue enggak tau sampai kapan perasaan itu bakalan terus ada. Tapi, lo enggak perlu khawatir. Walaupun gue suka sama lo dan sejak gue confess sama lo, gue udah enggak pernah berharap lagi, Rik. Biarin semesta bekerja dengan semestinya. Gue bakalan terus ikutin alurnya. Mungkin, suatu saat nanti semesta bisa kasih gue keajaiban mengenai perasaan lo terhadap gue. We never know, pwetty.

“Vik—”

“Rika, lo enggak perlu kasian sama gue kali ini, ya? Terserah lo mau bilang gue si bucin tolol or whatever it is. Tapi, satu hal yang perlu lo tau. Gue bukan bucin, Rika, tapi tulus. Gue beneran tulus, sampai-sampai gue udah enggak menaruh harapan apapun lagi sama lo.”

“Maaf, Viktor,” Rika kembali menangis.

Double kill sekali rasanya malam ini.

“Aduh, sayangnya aku jangan nangis mulu dong. Matanya tuh jadi bengkak,” Viktor kembali memeluk Rika.

“Maaf, gue udah jahat.”

“Enggak jahat. Perasaan kan emang enggak bisa dipaksa, Rika. Dan saat itulah ketulusan mulai berperan. Udah ya, nangisnya?”

Rika mengangguk-angguk pelan dan menyeka air matanya. Viktor mengusap kedua pipi Rika yang basah dan menatap lembut gadis itu. Lalu, mengecup ibu jarinya dan menempelkannya ke pipi kanan Rika—they say it's a thumb kiss.

Viktor sukses mendapat tepakan di kepalanya. Dia tidak meringis dan hanya tertawa renyah.

“Mau night ride atau balik ke rumah?” tawar Viktor.

Night ride!” jawab Rika dengan antusias.

Viktor menggeleng pelan. “Jangan, nanti masuk angin. Balik aja, ya?”

Bibir Rika melengkung ke bawah. “Terus kalau gitu lo ngapain nawarin?”

Viktor tertawa renyah. “Biar semangatnya balik lagi. Malam ini balik aja, besok selesai kelas gue ajak jalan. Gimana?”

“Sebentar aja deh night ride-nya, ya, ya, ya?” pinta Rika sembari menampilkan puppy face-nya.

Viktor menghela napas pendek. “Ya udah, sebentar aja, ya. Tapi, lo harus pake jaket gue, biar enggak masuk angin.”

“Ah, tapi gue udah pake cardigan.”

Cardigan lo tipis kayak gitu. Pake jaket gue atau kita balik?”

“Iya, iya pake jaket!”

Viktor tersenyum manis, lalu mengacak-acak pelan rambut Rika. “Good girl!”

Kedua netranya melirik kilas arloji hitam di pergelangan tangannya. Jarum jam arloji sudah menunjukkan pukul empat sore. Sudah sekitar lima menit dia berada di ruangan Bu Jena. Bu Jena menyuruh Viktor untuk menunggu di ruangannya karena beliau ada urusan yang harus diselesaikan.

Di sisi lain, Viktor juga berharap cemas menunggu kehadiran partner belajarnya yang belum hadir hingga saat ini. Dia ingin menghubungi orang itu, tetapi sejak kemarin orang itu memblokir nomornya. Sebenarnya bisa saja dia menghubunginya melalui media sosial lain, tapi dia menghargai orang itu yang mungkin membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.

Ceklek!

Pintu ruangan Bu Jena terbuka, seseorang masuk ke dalam ruangan. Kepala Viktor menoleh ke arah pintu. Dia mengerjapkan kedua netranya berkali-kali, masih mencerna sosok yang baru saja masuk ke dalam ruangan Bu Jena. Sebenarnya dia sudah menduga bahwa partner belajarnya itu akan segera datang. Tidak mungkin jika dia tidak datang. Karena dia tipikal orang yang sangat semangat sedari awal Bu Jena menunjuknya sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti kompetisi kimia.

Perempuan itu terlihat kerepotan saat membawa sebuah map yang berisi lembaran-lembaran kertas dan satu buah buku binder tebal di tangannya. Bahkan, dia hampir saja terjatuh—memang sangat rusuh sekali. Viktor tidak menghiraukan dan kembali pada posisi semula, menghadap ke arah depan dan memainkan sebuah pulpen yang ada di tangannya.

“Kok enggak bilang gue sih kalau lo udah ada di ruangannya Bu Jena? Gue nyari lo dari tadi tau,” gerutu Rika sembari mendaratkan bokongnya ke kursi yang berada di samping Viktor.

Viktor tidak menjawab.

Rika refleks mendera Viktor dengan map yang ada di tangannya. Viktor tidak bisa menghindar dan hanya meringis pelan.

“Viktor!”

Viktor menoleh sejenak. Dia menaikkan sebelah alisnya. “Apa?”

“Ish! Lo ngeselin banget, sumpah!”

Rika teringat sesuatu bahwa dia masih memblokir nomor Viktor. Lantas, dia membuka ponselnya untuk membuka blokirannya dari nomor Viktor. Sementara itu, Viktor terlihat sibuk dengan isi kepalanya.

“Nih, gue udah buka blokirannya,” tutur Rika sembari menunjukkan layar ponselnya kepada Viktor.

Viktor menyunggingkan senyum hampa. “Terus, kapan lo bisa buka hati buat gue?”

Suaranya terdengar seperti berbisik. Namun, suasana hening dan senyap membuat Rika bisa mendengar suara Viktor dengan jelas. Rika menoleh ke arah Viktor, dia refleks memalingkan wajahnya dan sibuk merutuk dalam hati tentang apa yang baru saja diucapkannya.

“Baru satu hari kita enggak ketemu, tapi lo udah aneh kayak gini, Vik,” ungkap Rika.

Viktor berdecak kesal. “Iya, ini semua gara-gara lo.”

Rika refleks mendelik. “Kok lo jadi salahin gue?! Lo aja yang aneh!”

Saat Viktor ingin membuka mulutnya untuk membalas perkataan Rika, pintu ruangan Bu Jena kembali terbuka. Viktor kembali menutup mulutnya.

“Oh, kalian sudah datang. Maaf saya tadi ada urusan sebentar,” tutur Bu Jena sembari berjalan menuju kursinya.

Konsultasi materi dan evaluasi belajar mengenai kompetisi kimia pun dimulai selama satu jam ke depan.


Satu jam berlalu. Setelah proses brainstorm, debat kecil, dan diskusi, akhirnya mereka selesai berkonsultasi dengan Bu Jena mengenai materi kompetisi kimia. Rika dan Viktor berpamitan dengan Bu Jena dan bergegas keluar dari ruangan Bu Jena.

Sepanjang menelusuri koridor sekolah, suasana lengang menyergap kedua manusia itu. Viktor sibuk dengan isi kepalanya, memikirkan topik pembicaraan yang tepat untuk memulai obrolan. Sedangkan Rika, sibuk memikirkan cara yang tepat untuk memecah suasana seperti ini. Karena perempuan itu sangat membenci suasana canggung dan sepi seperti ini.

By the way, ini kertas materi isinya teori buat kompetisi kimia yang gue udah ringkas. Lo baca dan pahami baik-baik, di sini juga ada beberapa tips dan tricks penyelesaian soal-soal yang sulit, lebih ringkas daripada yang sebelumnya pernah gue kasih ke lo,” tutur Viktor tiba-tiba sembari memberikan tumpukan kertas dengan paper clip di sudut atas kertas tersebut.

Rika terdiam dan tidak langsung menerima tumpukan kertas tersebut. Viktor pun terlihat bingung, biasanya gadis ini terlihat girang dan semangat saat mendapat kertas yang berkaitan dengan kompetisi kimia. Tetapi, ini berbanding terbalik sekali. Air muka gadis itu justru terlihat datar.

“Itu semua lo yang bikin?” tanya Rika.

Viktor mengangguk pelan. “Kemarin pas lo udah balik bareng Rivan, Bu Jena panggil gue ke ruangannya. Beliau bilang, ada beberapa tambahan materi teori buat kompetisi kimia nanti, dia kasih ke gue lembaran tentang materi tambahannya. Isinya itu pake bahasa yang lumayan sulit dimengerti, jadi malamnya gue ringkas lagi dan gue bikin bahasanya lebih mudah dimengerti. Karena kalau enggak kayak gitu, gue tau lo bakalan marah-marah karena bahasanya bakalan susah dipahami.”

Rika menghentikan langkahnya sejenak. Laki-laki yang mempunyai tubuh lebih tinggi darinya itu refleks ikut menghentikan langkahnya.

“Lo pasti kesulitan, ya?” tanya Rika.

Viktor menaikkan kedua alisnya dengan bingung. Lalu, dia tersenyum manis. “Enggak kok. Lo enggak perlu khawatir.”

Rika tiba-tiba memeluk Viktor, pelukannya begitu hangat dan terasa sangat nyaman. Gadis itu menepuk-nepuk pelan pundak Viktor. “Maaf ya, gue enggak bisa jadi partner belajar yang baik buat lo. Kemarin gue juga sempat marahin lo dan bilang lo egois. Padahal, lo emang capek. Lo selalu aja cari cara supaya gue bisa belajar dengan cara yang mudah. Lo selalu mastiin gue bisa paham semua materi dengan baik sampe lo harus bikin ringkasan kayak gini. Seharusnya gue sendiri yang berusaha lebih keras lagi, karena kompetisi ini kan keinginan gue juga.”

Viktor benar-benar terpaku. Jauh di lubuk hatinya, dia ingin menangis sekencang mungkin di dekapan gadis itu. Benar, dia sangat lelah sekali akhir-akhir ini. Dia juga rindu sekali dengan pelukan hangat yang sudah lama tidak dia rasakan. Tidak pernah ada lagi pelukan hangat sejak Papa dan Mamanya memutuskan untuk berpisah. Semua orang di rumahnya sibuk dengan urusan masing-masing dan kehangatan tak pernah lagi menjamah rumahnya.

Viktor memejamkan kedua matanya sejenak dan menggigit bibir bawah bagian dalam. Lantas, menghela napas berat. Kedua tangannya yang ingin mendekap gadis itu seketika terlihat ragu saat mengingat fakta bahwa gadis itu menyukai laki-laki lain, dia membatalkan niatnya untuk membalas pelukan Rika.

Rika melepas pelukannya dari Viktor. “Gue minta maaf, ya, Vik.”

No, it's nothing, pwetty. Gue bantu lo juga karena kan lo partner belajar gue. We are a team and the team must work together. Lo juga udah menjadi partner belajar yang baik buat gue dan lo juga udah berusaha sangat keras. Maka dari itu, gue berterima kasih sama lo. Terima kasih karena udah bekerja keras selama beberapa waktu belakangan ini. Gue senang bisa jadi partner belajar lo,” ungkap Viktor diakhiri senyum simpul.

“Jadi, ambil ringkasan yang udah gue bikin ini. Pelajari dan pahami lagi, karena waktu kita tinggal sedikit lagi,” imbuh Viktor sembari meraih tangan Rika untuk mengambil tumpukan kertas dari Viktor.

Rika mengambil kertas yang diberikan oleh Viktor. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju gerbang sekolah. Tak lama, mereka sampai di gerbang sekolah.

“Rika, setelah kompetisi kimia selesai, kita masih bisa berteman kayak biasa, 'kan?” tanya Viktor.

Rika tertawa mendengar pertanyaan bodoh dari Viktor. Viktor terlihat bingung karena merasa tidak ada yang lucu dengan pertanyaannya.

“Kok malah ketawa?”

“Pertanyaan lo lucu banget sih. Lagi pula, kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

“Gue takut. Gue takut setelah ini lo jauh dari gue. Walaupun sebenarnya gue enggak akan pernah bisa dekat sama lo.”

“Uhm..., maksud lo?”

“Lupain aja,” tukas Viktor yang kemudian berjalan kembali menuju halte bus.

“Kenapa? Ih, gue penasaran tau,” tanya Rika sembari berlari kecil menyusul Viktor.

“Lo percaya enggak, sebenarnya ada cowok yang suka sama lo.”

“Suka? Dalam artian apa?”

“Ya..., pokoknya dia suka sama lo. He really loves you, Rik.”

Rika tertawa pelan. “Siapapun orangnya, dia aneh. Ayolah, banyak banget woi cewek cantik di sekolah kita. Lagi pula, dari sekian banyak cewek cantik di sekolah kita, kenapa dia harus suka sama gue?”

“Gue enggak tau. Mungkin aja dia suka sama lo bukan karena fisik. But, he loves everything about you, Rik. He loves you the way you are. Lo masih anggap dia aneh juga?”

Rika terdiam. “Rasanya agak enggak mungkin aja gitu, Vik.”

“Kenapa bilang kayak gitu? Enggak ada yang enggak mungkin di dunia ini selama Tuhan berkehendak.”

“Lagian, lo tau dari mana kalau ada cowok yang suka sama gue?”

“Ada deh,” Viktor mengambil jeda sejenak, “lo juga lagi suka sama orang, kan?”

Rika menoleh cepat ke arah Viktor, kedua matanya yang bulat mendelik. “Lo kok tau?”

“Gue kan cenayang.”

“Lo mau gue gebuk?”

“Lo mau gue cium?”

“Viktor, ah! Serius gue!”

“Bercanda, gue enggak berani cium-cium anak orang.”

“Lo tau dari mana gue lagi suka sama orang?”

“Waktu gue belajar bareng di rumah lo, lo sempat ketiduran dan meracau enggak jelas. Lo bilang kalau lo suka sama Tama.”

“Anjir! Serius gue meracau kayak gitu?!”

Viktor mengangguk pelan. “Serius.”

“Tapi, emangnya lo tau siapa Tama?”

Viktor nenyunggingkan senyum kecut. “Apa sih yang gue enggak tau?”

“Sombong banget sih, anjir!”

“Rivan, kan?”

“Huh?”

“Lo suka sama dia.”

“Vik, jangan bocor ya, please?

Viktor menyunggingkan senyum kecutnya. “Sorry, I can't promise, pwetty.

“Vik, please?” pinta Rika sembari memasang puppy face.

“Maaf, gue enggak mempan sama puppy face lo.”

“Gue beliin es krim deh.”

Cih! Lo kira gue anak kecil yang bisa disogok pake es krim?”

“Terus gue harus apa dong?” tanya Rika dengan helaan napas putus asa.

“Lo cuma harus bersikap lebih lembut lagi ke gue. Pokoknya enggak boleh marah-marah sama gue. Gimana?”

“Itu doang?”

“Selesai kompetisi kimia nanti, gue bakalan aktif basket lagi. Nah, lo harus temenin gue setiap gue latihan basket.”

“Lo memanfaatkan gue ya?!”

“Terima atau bocor?”

Rika berdecak kesal. “Ya udah deh, iya. Puas lo?”

Viktor tersenyum menang. Lalu, mengacak-acak pelan rambut Rika.

“When I see you smiling. I'm lost for words.”

“Vik, sini kertas soalnya bagi rata,” ucap Rika.

Rika dan Viktor baru saja selesai bertemu dengan Bu Jena di ruangannya. Mereka diberikan pengarahan oleh Bu Jena mengenai hal-hal yang harus dilakukan sebelum mengikuti kompetisi kimia dan diberikan tumpukan kertas mengenai soal-soal latihan untuk keperluan kompetisi kimia.

Kini, Rika dan Viktor memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sekolah. Tentunya setelah terjadi perdebatan kecil di antara kedua manusia tersebut. Rika yang ingin belajar di kantin dengan alasan saat perutnya berdemo untuk minta diisi, dia bisa langsung pergi membeli makanan. Sedangkan Viktor lebih memilih belajar di taman sekolah karena suasananya yang sejuk dan efektif untuk belajar.

Namun akhirnya, mereka memutuskan untuk belajar di perpustakaan sekolah.

“Iya, sebentar. Gue lagi pilihin soal-soal yang susah buat lo,” sahut Viktor.

Ucapan Viktor jelas saja mendapat sambutan delikan dari Rika. “Lo jangan mulai mancing perkara deh ya.”

“Lo aja yang sensitif.”

Sebuah buku lumayan tebal sukses melandas di kepala Viktor. Viktor refleks meringis pelan akibat Rika yang mendera Viktor dengan buku lumayan tebal yang berisi rumus-rumus kimia.

“Ih, lebay! Gue mukulnya pelan juga.”

Viktor refleks menoleh ke arah Rika, kedua pupilnya membesar. “Pelan? Udah jelas lo mukul gue dengan penuh rasa dendam, amarah, dan kesal yang tak terkira.”

“Bacot! Mana kertas soal buat gue? Keburu sore ini.”

“Nih, cerewet!” gerutu Viktor sembari menyodorkan tumpukan lembaran kertas yang sudah dibagi dua, tepat di wajah Rika.

Viktor menatap lembaran kertas yang ada di hadapannya sejenak. Kepalanya terasa berat dan seakan dirinya berada di permainan tornado; terasa berputar-putar. Dia memegangi kepalanya sembari menarik rambutnya—kepalanya terasa sakit dan punggungnya mulai terasa nyeri. Kedua matanya terus mengerjap, berusaha mengembalikan penglihatannya yang mulai kabur.

Sudah beberapa hari terakhir, dia mengalami gejala-gejala aneh ini. Memang Viktor termasuk anak yang paling aktif di antara kedua saudara perempuannya dan keempat temannya. Beberapa hari terakhir dia juga mengalami perubahan suasana hati yang cenderung ekstrem.

Rika masih tidak menyadarinya dan masih asyik dengan lembaran kertas di hadapannya. Viktor berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan menekan rasa sakit di kepala dan rasa nyeri di punggungnya.

“Vik, kata Bu Jena kita harus punya target waktu buat pelajarin semua soal ini. Otomatis, kita harus punya target juga dong per hari harus belajar berapa materi—” Rika menoleh ke arah Viktor dan terkejut, “Vik? Lo kenapa?”

Viktor menggeleng pelan. “Enggak, gue enggak apa-apa, kok.”

“Muka lo pucat, Vik. Darah rendah lo kambuh lagi, ya? Lo bawa obatnya—”

“Gue enggak apa-apa, Rika!” bentak Viktor dengan kedua pupil yang membesar, sorot matanya terlihat kesal.

Rika terperanjat mendengar nada bicara Viktor yang meninggi. Dia tidak pernah melihat Viktor seperti ini—oh tidak, kecuali ketika dia menjenguk Viktor di rumahnya. Untuk kedua kalinya, Viktor membentak Rika. Beruntung, saat ini perpustakaan tidak begitu ramai dan mereka juga menempati tempat yang jauh dari jangkauan penjaga perpustakaan.

Tatapan Viktor terlihat melunak. Dia memejamkan kedua matanya sejenak dan menundukkan kepalanya.

“Maaf.”

Rika menghela napas pelan. Dia yang berada di samping Viktor, mulai menjaga jarak dari Viktor. Viktor menyadari hal itu. Dia menggenggam hangat tangan Rika.

“Kalau lo capek, kita lanjut besok aja. Jangan terlalu paksain diri lo sendiri kayak gini,” ucap Rika.

Rasa sakit di kepala dan nyeri di punggungnya belum kunjung mereda, namun ucapan gadis itu terdengar menenangkan sekali. Kedua netranya yang masih kabur menatap wajah cantik gadis itu.

“Gue minta maaf ya karena udah bentak lo, sampai lo kaget kayak gitu,” tutur Viktor.

Kedua sudut bibir gadis itu tersenyum hangat, lalu menggeleng pelan. “Enggak apa-apa, kok. Lo pasti lagi capek banget, ya?”

Rasa sakit di kepala dan rasa nyeri di punggungnya belum kunjung reda, kini malah ditambah jantungnya berdegup tidak karuan ketika melihat gadis itu tersenyum. Damage-nya tidak main-main.

'What the hell is that? When I see her smile, I'm lost for words,' batin Viktor.

Viktor memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Dia berusaha untuk mengabaikan sakit di kepala dan rasa nyeri di punggungnya. Dia mulai mengalihkan fokusnya ke lembaran-lembaran kertas yang berada di hadapannya.

Viktor berdeham pelan. “Jadi, gimana kalau per satu hari kita belajar sekitar empat materi? Lo sanggup?”

Rika terdiam sejenak, memikirkan jawaban. “Sanggup aja, sih. Tapi, kenapa enggak dua materi aja per hari? Maksud gue, lebih baik kita belajar sedikit materi dan paham dengan baik daripada belajar banyak materi, tapi ternyata enggak terlalu paham.”

Okay, dua materi per hari. Tapi, include weekend juga atau setiap pulang sekolah aja?”

“Kalau bisa sih, weekend juga harus, biar bisa kejar target juga kan? Karena lumayan banyak juga, materi yang belum kita pelajarin.”

Viktor mengangguk paham. Dia melirik arloji hitam di pergelangan tangannya. Rasa sakit di kepala dan rasa nyeri di punggungnya mulai sedikit berkurang. Masih ada waktu sekitar dua puluh lima menit lagi sebelum perpustakaan sekolah ditutup. Mereka memutuskan untuk menjawab beberapa soal di lembaran yang sudah diberikan oleh Bu Jena.

Saat Rika sedang sibuk mengerjakan soal, Viktor sesekali curi-curi pandang dengan gadis itu. Dia benar-benar tidak bisa fokus. Akhirnya, Viktor memutuskan untuk berhenti sejenak, bertopang dagu di atas meja dan masih memperhatikan Rika. Dalam hatinya tiada henti terus mengagumi wajah cantik gadis ini.

'Buat apa Tuhan menciptakan makhluk secantik dia kalau dia enggak bisa jadi milik gue?' batin Viktor.

Di detik selanjutnya Viktor menghela napas, lalu mengalihkan perhatiannya ke lembaran kertas miliknya. Rika berhenti sejenak, dia merasa penat. Rika menyeruput air mineral yang berada di botol tumblernya, sesekali melirik Viktor.

'Ganteng banget ini cowok. Udah ganteng, pintar pula. Enggak heran cowok kayak dia jadi most wanted di sekolah,' batin Rika berbicara.

“Kerjain, jangan liatin gue terus,” celetuk Viktor tanpa menatap Rika, dia masih sibuk menulis penyelesaian di lembaran soal.

'Mampus, ketahuan!' batin Rika kembali berbicara.

“Rika,” panggil Viktor tanpa menatap lawan bicaranya.

“Apa?” jawab Rika yang masih sibuk berkutat dengan lembaran soalnya.

“Lo tau rumus mol kan?”

Rika menghentikan kegiatannya. Lalu, beralih menatap Viktor dengan serius. “Itu rumus buat mengukur suatu zat. Rumusnya, mol sama dengan konsentrasi dikali volume. Gue yakin, itu rumus udah di luar kepala lo.”

“Tau enggak? Rumus itu cocok sama kondisi kita,” Viktor masih tidak menatap Rika.

Rika menaikkan sebelah alisnya. Tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Viktor. “Maksud lo? Apa hubungannya sih?”

Viktor berdeham, lantas menatap lekat-lekat Rika. “Karena untuk mengukur rasa suka gue ke lo itu rumusnya hampir sama kayak rumus mol, yaitu kuatnya rasa suka dikali dengan banyaknya pengorbanan yang dibutuhkan.”

“Jadi, ini yang namanya belajar? Belajar gombal atau belajar buat kompetisi kimia?”

Seseorang datang dengan air muka dingin seraya kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Viktor menoleh ke arah sumber suara. Rika tidak mengira bahwa Rivan akan menyusulnya ke perpustakaan. Rika juga tidak memberitahu secara spesifik kepada Rivan tempat dia dan Viktor akan belajar.

“Lo udah selesai latihan karate, Rivan?” tanya Rika, memecah suasana canggung yang baru saja terjadi.

Rivan mengangguk pelan. “Lo mau balik kapan?”

Rika refleks melihat jam dinding yang berada di perpustakaan. Tak terasa, dua puluh lima menit sudah berlalu.

“Hei, kalian. Cepat keluar, saya mau tutup perpustakaannya,” ucap penjaga perpustakaan yang menghampiri mereka.

Sementara Rika dan Viktor membereskan barang-barang mereka, Rivan sudah pergi ke luar perpustakaan terlebih dulu.

“Lo balik bareng Rivan?” tanya Viktor.

“Iya. Dia udah ngajak balik bareng dari kemarin.”

Viktor tersenyum kecut.

Mereka keluar dari perpustakaan. Kedua netra Viktor bersitatap dengan kedua netra Rivan—terlihat jelas sekali bahwa Rivan tidak menyukai Viktor berada di dekat Rika.

“Rivan, gue ke toilet bentar, ya,” pamit Rika yang kemudian pergi setelah mendapat anggukan dari Rivan.

Kedua kaki Viktor mulai melangkah pergi dari hadapan manusia menjengkelkan itu.

“Jangan harap lo bisa dekat sama Rika ya, bangsat!”

Kedua kaki Viktor refleks berhenti melangkah. Tangan kanannya mengepal, ingin sekali rasanya meninju wajah orang yang sudah berkata demikian kepadanya. Sudut bibir Viktor perlahan tertarik ke atas membentuk smirk. Dia berbalik, menatap jengkel Rivan.

“Lo siapa dan ada hak apa berani bilang kayak gitu, huh?”

“Gue teman kecilnya dia dan gue enggak akan biarin lo dekat sama dia. Paham lo?”

Viktor menaikkan sebelah alisnya. “Foolish. Teman kecil udah kayak pacar. Lagi pula, lo kira gue peduli? Lo laki-laki dan punya otak, 'kan? Daripada ancam gue kayak gitu, kenapa enggak gunain otak lo buat mikir cara bersaing dengan sehat?”

Lalu, Viktor pun pergi meninggalkan Rivan dengan raut wajah kesal setelah mendengar perkataan Viktor.

Bonus pict.

Hasa, Dimas, dan Ardio sudah tiba di rumah Viktor sejak dua puluh menit yang lalu. Mereka kini sedang menemani Viktor. Jevan sudah memberitahu yang lain bahwa ia akan datang terlambat karena ada rapat dadakan dengan para anggota MPK.

Hasa dan Dimas sedang asyik mengobrol di balkon kamar Viktor, Ardio memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk menemani Viktor. Viktor sedang sibuk membaca komik yang baru saja dibawakan oleh Ardio. Kedua netra Ardio menangkap sebuah benda di atas nakas yang mengganggu pikirannya sejak dia datang ke kamar Viktor.

Ardio mendengar Viktor tertawa saat membaca komik.

“Miko kenapa gemes banget sih, anjir,” ungkap Viktor dengan sisa tawanya.

Ardio mengambil posisi duduk di samping Viktor. “Vik—”

“Oh iya, kalian mau makan apa? Biar nanti gue pesenin,” tanya Viktor dengan suara yang agak sedikit keras agar terdengar oleh Hasa dan Dimas yang berada di balkon.

“Enggak usah repot-repot, Bang,” sahut Hasa.

“Halah! Sok nolak lo, Cil! Padahal tadi lo bilang, lo kangen dessert box buatan Mama Sarah,” celetuk Dimas.

Hasa spontan menyikut Dimas.

Viktor tertawa kecil. “Mama gue masih harus istirahat lagi, Cil. Dua hari yang lalu dia baru aja pulang dari rumah sakit. Terus kemarin dia kurang istirahat lagi karena harus ngurusin gue. Nanti kapan-kapan gue coba minta Mama bikin dessert box, ya.”

“Ya udah, Vik, delivery pizza aja,” usul Dimas.

Ardio kembali mengurungkan niatnya untuk melontarkan pertanyaan yang berada di otaknya.

“Lo mau pizza, Ar? Atau mau ramen aja? Lo kan suka ramen tuh,” tanya Viktor.

“Enggak usah, pizza aja.”

Viktor mengangguk pelan dan mulai memesan makanan melalui gawainya.

“Sejak kapan lo mulai sebat?” tanya Ardio yang kini tidak tahan lagi berperang dengan batin dan otaknya. Hingga akhirnya, dia lebih memilih untuk melontarkan pertanyaan itu.

Viktor menghentikan gerakan jarinya yang lincah menyentuh layar gawainya. Dia terpaku, lantas mengerjapkan kedua netranya beberapa kali. Dia melirik nakas yang berada di samping Ardio.

'Sial, gue lupa taro rokoknya di laci nakas.'

“Baru-baru ini kok.”

“Kenapa?”

Viktor menutup buku komiknya, lalu meletakkan ponselnya di atas pangkuannya. Sorot matanya yang kosong menatap ke sembarang arah, sengaja menghindari kontak mata dengan Ardio.

I don't know? I..., I have no reasons, Ar,” Viktor menghela napas berat.

Yes, you have. Tapi, lo enggak bisa cerita ke gue karena lo lebih nyaman cerita ke Jevan, right?”

Kedua Viktor langsung menatap Ardio, berusaha menyangkal ucapan Ardio melalui tatapan matanya. “Bukan gitu maksud gue, Ar. Gue cuma..., sht, it messed me up, Ar.”

Ardio menepuk-nepuk pelan pundak Viktor. “Take your time, buddy.

Viktor tersenyum kecil. “Thanks, Ar. Uhm..., by the way, tolong jangan kasih tau ke yang lain ya soal gue ngerokok.”

Ardio tertawa pelan. “Kenapa? Dimas juga ngerokok, kok. Toh, mereka juga pasti paham kenapa lo mutusin buat ngerokok.”

Knock! Knock! Knock!

Seseorang mengetuk pintu kamar Viktor. Viktor terdiam sejenak. Tidak mungkin pesanannya sudah sampai secepat ini. Karena biasanya pesanan makanan akan sampai sekitar tiga puluh menit setelah memesan. Tetapi, ini belum ada tiga puluh menit dan makanan pesanannya sudah datang?

“Biar gue yang buka, Vik,” ucap Dimas yang masuk ke dalam kamar, disusul Hasa yang kemudian duduk di atas karpet.

Dimas tertegun sejenak saat melihat kedatangan Jevan dengan seorang gadis di belakangnya.

“Lama banget lo, anjir. Terus, apa nih? Kok tiba-tiba ada cew—”

“Gue boleh masuk?” pungkas Jevan sebelum Dimas mengoceh lebih panjang lagi.

Sure.”

Dimas pun mempersilakan Jevan masuk ke dalam kamar Viktor.

“Siapa, Dim? Kakak gue ya—eh, Jev, akhirnya datang juga lo,” sambut Viktor dengan ceria, namun di detik selanjutnya terpaku saat melihat seorang gadis muncul di belakang Jevan.

“Jev,” air muka Viktor langsung berubah menjadi datar.

“Kenapa?”

Hasa dan Ardio terperangah dengan kehadiran Jevan—ralat, dengan gadis yang datang bersama Jevan saat ini.

Rupanya, Jevan tidak pernah main-main dengan ucapannya.

“Oh iya. Ini ada Rika, katanya dia mau jenguk lo juga. Jadi, tadi sekalian ke sini bareng gue,” jelas Jevan.

“Gue kan udah bilang, lo enggak usah datang ke sini,” ketus Viktor dengan wajah datarnya.

Semuanya terdiam saat mendengar ucapan Viktor. Atmosfer di kamar Viktor berubah menjadi agak canggung.

“Uhm..., ya udah, kalau gitu gue balik aja,” ucap Rika dengan suara gemetar.

Viktor melirik ke arah tangan Rika yang memegang paper bag agak sedikit gemetar.

Viktor berdecak, dia beranjak dari tempat tidurnya dan menarik tangan Rika untuk keluar dari kamarnya. Sebelum benar-benar pergi, kepala Viktor kembali muncul dari balik pintu kamarnya.

“Kalian di kamar aja. Jangan ada yang macem-macem lagi,” titah Viktor sembari melirik ke arah Jevan dengan tatapan datar.

Dimas mendelik. “Lho? Harusnya kita yang bilang kayak gitu, woi? Lo jangan macem-macem sama anak gadis orang, oi!”

Viktor tak menggubris, hanya menyunggingkan senyum kecil.

Viktor menyuruh Rika untuk mengikutinya ke ruang tamu. Rika bersumpah ingin segera pergi dari tempat ini, terlebih setelah mendapat sambutan yang tidak ramah dari tuan rumah.

“Kalau lo enggak nyaman, gue beneran balik aja. Enggak apa-apa kok,” ucap Rika.

Viktor duduk di salah satu sofa yang berada di ruang tamu. “Duduk, enggak ada yang nyuruh lo buat pulang.”

“Tapi, tadi lo—”

Sit down, please?”

Gadis itu akhirnya duduk di samping Viktor.

“Katanya ada kerja kelompok, kenapa tetap datang?” tanya Viktor sembari menatap Rika dengan tatapan datar.

“Enggak ada alasan khusus, sih. Karena gue lagi sempat aja. Kebetulan Jevan juga sempat nawarin bareng. Jadi, ya udah deh gue datang.”

Viktor mengalihkan tatapannya ke tangan Rika yang masih terlihat gemetar.

“Maaf ya, tadi gue jadi bikin lo enggak nyaman,” ungkap Viktor, kali ini tatapannya mulai melunak.

“Hah? Enggak kok,” balas Rika diakhiri dengan kekehan.

“Tangan lo masih gemetaran, Rik. Lo enggak apa-apa?”

Rika tersenyum kecil. “Gue enggak apa-apa kok. Oh ya, ini gue bawain lo beberapa buah mangga sama garlic bread. Maaf ya, gue cuma bisa bawain ini.”

Viktor menatap lekat-lekat gadis cantik yang ada di hadapannya itu. Lalu, tersenyum kecil. “Gue enggak butuh semua itu.”

“Hah? Terus, lo enggak mau terima barang bawaan gue, nih? Gue udah capek-capek lho bawain ini buat lo,” gerutu Rika sembari memajukan bibirnya beberapa senti.

“Tuhan, gemes banget.”

Rika mengerutkan dahinya. “Pardon?”

Viktor menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lantas, mengalihkan pandangannya dari Rika. “Sebenarnya lo enggak perlu repot-repot bawain ini semua buat gue. Karena, gue cuma butuh satu.”

“Apa?”

“Lo,” Viktor kini menatap lekat-lekat gadis pemilik manik cokelat kayu itu, “lo aja cukup buat gue.”

Viktor mengambil jeda sejenak. “Wanna know why? Because you are my healer.

Rika berusaha untuk mengalihkan perhatiannya dari tatapan mata Viktor yang terlihat menawan—siapapun yang menatapnya pasti kesulitan untuk melepaskan pandangannya.

Ponsel Rika bergetar. Dia pun memutuskan untuk melihat pesan masuk tersebut.

“Uhm..., sorry ya Vik. Gue enggak bisa lama, Mama gue udah nyuruh gue buat pulang,” ungkap Rika setelah membaca pesan masuk yang ternyata dari Ibunya itu.

“Yah, kok sebentar sih,” bibir tipis Viktor melengkung ke bawah, “ya udah deh, enggak apa-apa. Thanks ya, udah luangin waktu buat jenguk gue.”

Rika tersenyum manis. “Santai aja, sih.”

“Lo pulang sendiri? Di luar udah mulai gelap. Biar lebih aman, dianterin aja sama Dimas, ya?”

“Eh, enggak usah, Vik. Gue ngerepotin Dimas nanti.”

“Biarin aja, sih. Dimas juga hidupnya ngerepotin gue mulu.”

Rika menggeleng tegas. “Enggak perlu, Viktor. Lagian, gue juga dijemput sama orang kok. Kebetulan katanya dia lewat sekitaran sini karena habis dari rumah Tantenya.”

Viktor menaikkan sebelah alisnya. “Siapa? Abang ojol?

Rika menggeleng. “Bukan, sama Rivan.”

Viktor seketika terpaku. “Rivan?”

—To be Continued—

Sore ini, kumpulan awan yang sendu tampak menggantung di langit. Koridor sekolah yang lengang terdengar derap langkah kaki yang tergesa-gesa.

“Bang, demi Tuhan, kita enggak bisa santai dikit jalannya?”

Jevan menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Hasa yang sudah dibanjiri peluh di keningnya dan napasnya yang terengah-engah. Sementara itu, Ardio menyeka peluh yang menetes di dahinya dengan punggung tangannya. Hasa baru saja selesai latihan basket dan langsung bergegas menyusul Jevan saat mengetahui Jevan akan menuju ke lokasi tawuran—tanpa mengganti bajunya lagi. Ardio yang masih berada di ruang klub fotografi ikut bergegas menyusul Jevan.

“Gue enggak minta kalian buat ikut sama gue. Kalian tunggu kabar aja di rumah masing-masing, paham? Biar gue sendiri yang ke lokasi tawuran,” Jevan berusaha memberikan pengertian kepada Hasa dan Ardio.

Hasa refleks mendelik mendengar penuturan Jevan. “Astaga! Bang Jevan udah gila atau gimana sih?! Bang Jevan pikir Hasa bakalan sebodoh itu nurutin permintaan Bang Jevan?! Hasa masih waras, Bang! Cukup Bang Viktor dan Bang Dimas aja yang sekarang masih enggak ada kabar dan bikin Hasa khawatir!”

Jevan tersulut emosi. Dia mencengkeram kerah baju Hasa dan mendorongnya hingga terbentur dinding koridor. “Terus apa gunanya lo ikut sama gue?! Lo sadar enggak sih?! Kalau lo ikut, lo cuma bikin susah gue di sana!”

Hasa tertegun sejenak. Dia tersenyum hampa, sorot matanya menandakan kekecewaan atas ucapan Jevan. “Hasa bikin susah Bang Jevan, ya?”

“Iya! Lo cuma bikin gue susah! Paham lo?!” ketus Jevan.

“Mau sampai kapan kalian berantem? Kalian pikir dengan debat enggak penting kayak gini, kalian bakalan tau keadaan Dimas dan Viktor?” lerai Ardio.

Jevan melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Hasa. Wajahnya masih sedikit memerah, masih tersisa sedikit amarah di wajahnya. Dia merogoh saku celananya saat merasakan ponselnya bergetar. Kedua netranya membaca pesan singkat yang tertera di layar ponselnya.

Pesan singkat itu didapatkan dari seseorang yang dikenalnya. Jevan mengerjapkan kedua matanya berkali-kali setelah membaca pesan singkat tersebut. Sorot matanya terlihat sayu, jantungnya terasa mencelos.

“Jev? Lo kenapa?” tanya Ardio.

Dia menatap Ardio dan Hasa secara bergantian.

“Dua orang yang salah sasaran itu, ternyata beneran mereka.”


Seorang laki-laki sedang duduk di bangku yang berada di depan Ruang Unit Gawat Darurat. Wajahnya tenggelam di balik kedua telapak tangannya. Rasa khawatir terus mengerubungi pikirannya, tatkala rasa sakit yang terdapat di beberapa lukanya itu diabaikannya. Sudah sekitar dua puluh menit dia berada di ruangan ini hanya untuk menunggu kabar tentang kondisi temannya.

“Dimas!”

Wajahnya yang masih tenggelam di kedua telapak tangannya tetap tidak berkutik, tatkala kedua telinganya menangkap seruan seseorang yang dikenalinya.

“Bang Dimas!”

Suara itu semakin terdengar menghampirinya. Dia membuka kedua telapak tangannya yang menutupi wajahnya. Seseorang yang memanggilnya terlihat terkejut dengan wajah Dimas—matanya memerah dan sembab, luka memar dan lebam terdapat di sudut bibir dan matanya serta lengan kanannya dibalut dengan kain kasa.

“Dim—” belum sempat menyelesaikan ucapannya, Dimas refleks memeluk Jevan, lantas tangisnya pecah di dekapan teman dekatnya itu.

“Viktor, Jev. Viktor....”

Jevan tak ingin bertanya banyak hal, walau rasa penasarannya sudah mulai mendesak bibirnya untuk segera melontarkan banyak pertanyaan kepada Dimas.

He will be okay, Dim,” bisik Jevan sembari mengusap-usap punggung Dimas.

Hasa tak banyak bicara, air mukanya sudah berubah suram saat pertama kalinya melihat Dimas menangis seperti ini. Pilu sekali mendengarnya. Karena sebelumnya Dimas tidak pernah menangis di depannya atau teman-temannya yang lain.

Begitu pun Ardio yang kini masih terpaku melihat keadaan Dimas. Beberapa menit mereka lalui hanya dengan keheningan dan isakan tangis Dimas yang terdengar.

“Tante Sarah udah tau kabar Viktor?” tanya Ardio kepada Dimas.

Dimas menggeleng pelan. “Belum. Gue belum kasih tau keluarganya Viktor. Gue dengar, Tante Sarah baru keluar rumah sakit hari ini. Jadi, enggak mungkin gue kasih tau dia. Gimana kalau nanti dia drop lagi pas dengar kabar soal anaknya?”

“Tapi, Tante Sarah bukan dirawat di rumah sakit ini kan?” tanya Hasa.

“Bukan, Sa. Dia dirawat di rumah sakit lain,” jawab Dimas.

“Bang Dimas kok bisa ketemu sama Bang Viktor?”

Dimas melirik kilas Hasa, lalu menghela napas pelan. “Pulang sekolah tadi gue izin enggak latihan futsal, karena hari ini gue udah janji mau temenin adik gue ke tempat les piano. Tapi, pas di gerbang sekolah gue ketemu Viktor mau jalan ke halte. Dia juga izin enggak latihan basket karena mau bantuin Mamanya beresin barang-barang. Hari ini Mamanya mau pulang dari rumah sakit.”

“Terus?” Hasa terlihat penasaran.

“Gue ajak dia buat balik bareng, karena rumah sakit tempat Tante Sarah dirawat itu emang searah sama arah gue balik. Pas gue dan Viktor sampai di Jalan Durian Empat, tumben banget jalanan itu sepi. Biasanya itu jalanan ramai. Gue sempat mikir ada yang enggak beres nih. Benar aja, selang beberapa detik ada rombongan anak sekolah SMA Garuda Bangsa dari arah berlawanan, terus di belakang muncul juga anak sekolah SMA Bintang Jaya. Demi Tuhan, gue enggak ada kabar apapun dari kenalan gue di dua sekolah itu kalau hari ini bakal ada tawuran. Kalau gue tau, gue juga lebih milih muter lewat jalan lain, walaupun jarak tempuhnya jadi agak jauh.”

Dimas mengambil napas sejenak. Rasanya sesak sekali mengingat kejadian buruk yang baru saja menimpanya dan Viktor. Saat kelas sepuluh Dimas memang sempat terlibat dengan aksi tawuran. Tetapi, sejak pergantian kepala sekolah dan peraturan mulai diketatkan kembali, Dimas lebih memilih untuk tidak berurusan dengan aksi tawuran lagi.

“Perlu gue ceritain gimana chaos-nya saat itu? Gue....,” bibir Dimas bergetar, tak sanggup mengatakan apa yang terjadi.

Hasa mengulum senyum kecil yang terlihat menenangkan hati. Dia mengusap pelan pundak kakak kelasnya itu. “Kalau enggak sanggup buat cerita, enggak usah dipaksa buat cerita, Bang Dim. Enggak apa-apa kok.”

Dimas mengatur napasnya sejenak. Lalu, dia kembali menceritakan kejadian saat dia dan Viktor memutuskan untuk turun dari motor. Dimas lebih memilih untuk meninggalkan motornya karena situasi yang tidak memungkinkan jika dia harus menerobos gerombolan anak-anak sekolah yang sudah siap dengan berbagai senjata tajam. Dia juga menceritakan bagaimana keadaan berubah menjadi kacau, bagaimana paniknya saat dia dan Viktor mulai terpisah sampai akhirnya dia menemukan Viktor sedang tergeletak lemas di pinggir jalan dengan banyak luka di sekujur tubuhnya.

Selang dua menit Dimas selesai bercerita, seorang dokter dan perawat keluar dari Ruang Unit Gawat Darurat.

“Permisi, apa di sini ada salah satu kerabat dari pasien?”

“Maaf, Dok. Kerabatnya belum ada yang bisa datang, kami temannya. Gimana keadaan pasien ya, Dok?” Jevan yang angkat bicara.

“Beruntung sekali pasien dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Luka di lengan kanannya mendapat lima belas jahitan dan di dahinya dua puluh lima jahitan. Pasien diperbolehkan pulang esok hari ya, karena pasien masih harus kami periksa secara berkala mengenai kondisinya. Oh iya, pasien akan kami pindahkan ke ruang rawat dan baru bisa dijenguk,” jelas dokter tersebut.

“Terima kasih, Dok,” balas Jevan.

Dokter tersebut mengangguk pelan. Dokter dan perawat tersebut kembali ke dalam Ruang Unit Gawat Darurat, lalu beberapa perawat keluar dari ruangan tersebut sembari membawa Viktor yang masih terkulai lemah di atas ranjang beroda untuk dibawa ke ruang rawat.

Jevan, Dimas, Ardio, dan Hasa benar-benar terpaku saat melihat keadaan Viktor.

—To be Continued—

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Viktor memarkirkan motornya di tempat parkir yang tersedia di basemen gedung mall. Setelah Rika turun dari motor Viktor, dia menunggu Viktor memarkirkan motornya. Rika berniat ingin berjalan setelah Viktor memarkirkan motornya.

“Rika, tunggu dulu!”

Rika seketika menoleh ke belakang dan menatap Viktor dengan bingung. “Kenapa?”

“Lo enggak mungkin kan ke dalam bioskop pakai helm? Sini, helmnya dilepas dulu dong, pwetty,” tutur Viktor seraya tertawa pelan, lalu membantu Rika untuk melepaskan helm dari kepala Rika.

Rika terpaku saat Viktor melepaskan helmnya.

Okay, done,” Viktor melepaskan helm dari kepala Rika dan sedikit merapikan rambut gadis itu, “nah, kalau helmnya dilepas kan jadi kelihatan cantiknya.”

Rika mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, masih tidak menyangka dengan perlakuan laki-laki menyebalkan ini.

Hey! Ayo, kok malah melamun sih? Nanti kesambet setan lho,” celetuk Viktor sembari berjalan mendahului Rika.

Rika pun menyusul Viktor. Setelah mereka masuk ke dalam mall, Viktor mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam mulai film yang akan ditontonnya.

“Ayo, pwetty! Dua menit lagi filmnya dimulai!” tutur Viktor.

“Dua menit lagi?! Gila—”

Viktor langsung menarik lengan Rika dan berlari menuju lift. Letak bioskop di mall berada di lantai tiga. Sesampainya di depan lift, Viktor menekan tombol lift. Tak butuh waktu lama, pintu lift terbuka. Mereka bergegas memasuki lift. Suasana awkward menyelimuti mereka saat berada di dalam lift.

“Vik, lo kan ngajak gue nonton, tapi sampai sekarang gue belum tau film apa yang mau kita tonton,” kata Rika yang memecah keheningan. Dalam hati dia berharap cemas tentang film yang akan ditonton nanti bukanlah film bergenre horor.

“Tenang aja, bukan film horor kok.”

Rika menghela napas lega. “Syukur deh.”

Viktor menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa? Lo takut, ya?”

“Enggak kok!” elak Rika.

Viktor menyeringai, dia tahu bahwa Rika sedang berbohong. Tak lama, akhirnya mereka sampai di lantai tiga gedung mall. Kedua mata Viktor menelusuri tempat bioskop yang tidak jauh dari tempat lift berada. Mereka pun mulai masuk ke dalam bioskop setelah menunjukkan tiket bioskop. Saat mereka masuk, bertepatan sekali film dimulai. Viktor dan Rika mencari tempat duduk yang tertera di tiket miliknya dan Rika. Mereka menempati tempat duduk di bagian tengah.

Baru permulaan, Rika sudah dikejutkan dengan adegan awal film. Dia benar-benar terkejut bukan main, padahal hanya terdapat adegan sebuah binatang ditabrak oleh sebuah mobil pick up. Viktor juga ikut terkejut, namun bukan karena adegan di film tersebut. Dia justru terkejut dengan reaksi Rika.

“Vik, kasih tau gue genre film yang kita tonton sekarang,” bisik Rika dengan tatapan tajam.

Mystery or thriller and science fiction, singkatnya sih ini tentang zombie. Gue jamin ini seru, karena gue udah nonton trailer-nya dan emang film ini paling gue tunggu-tunggu buat tayang di bioskop sih,” jelas Viktor.

Rika refleks meninju pelan lengan Viktor. “Lo kenapa enggak bilang?!”

“Itu gue udah bilang, 'kan? Kenapa sih? Lo takut? Filmnya enggak ada unsur setannya kok. So, chill, okay?”

Rika menggerutu dalam hati. Sejujurnya bukan hanya film bergenre horor saja yang dia hindari, begitu juga dengan film yang mengandung unsur zombie. Pasalnya, dia mudah terkejut dan berteriak.

Sudah beberapa kali Rika terkejut dan menjadi pusat perhatian penonton bioskop lainnya. Tidak jarang Rika tanpa sadar meremas lengan Viktor.

“Vik, filmnya seru. Tapi, gue capek dari tadi kaget mulu,” keluh Rika sembari meremas tangannya sendiri.

Viktor mengalihkan perhatiannya dari layar bioskop. Dia menatap lekat-lekat Rika, lantas meraih tangan Rika dan agak terkejut ketika tangan Rika terasa sangat dingin—entah dingin karena pengaruh dari pendingin ruangan atau Rika yang benar-benar lelah karena mudah terkejut. Viktor mulai terlihat khawatir dengan Rika.

“Tangan lo dingin banget, Rika. Lo mau udahan aja nontonnya? Kalau iya, Enggak apa-apa kok kita udahan aja,” tutur Viktor tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Rika.

Rika menggeleng pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar bioskop. “Santai, gue enggak apa-apa. Ini pendingin ruangannya aja yang emang terlalu dingin. Gue masih sanggup nonton filmnya, kok.”

Viktor berdecak kesal. Sungguh menyebalkan, Rika tidak ingin terlihat lemah di depannya. Viktor melepas hoodie abu-abu yang dipakainya. Lalu, dia memberikannya kepada Rika.

“Pakai hoodie-nya,” titah Viktor sembari menyodorkan hoodie miliknya

Rika menoleh sejenak. “Nanti dulu, itu filmnya—AAAA!!!”

Rika spontan berteriak dan memeluk lengan Viktor ketika sesosok zombie muncul dan menyerang salah satu pemain film ditambah lagi dengan backsound film yang terdengar begitu menggelegar. Viktor terpaku saat Rika benar-benar memeluk lengan Viktor dengan sangat erat. Rika baru tersadar akan perbuatannya setelah dirinya mencium aroma parfum cokelat dari kaus hitam polos yang dikenakan Viktor.

“Ma–maaf,” ucap Rika seraya langsung melepaskan pelukannya.

It's okay. Gue tau lo kedinginan, makanya pakai dulu hoodie-nya.”

“Enggak usah—”

“Rika, pake hoodie-nya sekarang,” tukas Viktor.

Bibir Rika terlihat maju beberapa senti, terlihat kesal dengan Viktor yang terus memaksanya. Dia pun memakai hoodie Viktor yang terlihat oversize saat dipakai dengannya. Padahal, hoodie tersebut pas di tubuh Viktor.

'Aduh, anjir! Kenapa dia jadi kelihatan gemes banget, sih? Bikin repot perasaan gue aja,' gumam batin Viktor.

Beberapa kali Rika kembali kaget dan memeluk Viktor. Sedangkan Viktor terlihat tidak bisa fokus dengan film yang ditontonnya akibat ulah Rika. Jantungnya pun berdegup kencang tak terkendali.

Sekitar satu jam setengah film pun selesai. Rika menghela napas lega, namun kedua matanya terlihat basah. Viktor terlihat bingung saat melihat kedua mata Rika yang tampak basah.

“Eh, lo nangis? Kenapa? Aduh, lo nangis karena lapar ya? Ya udah, ayo kita maka—”

Belum sempat Viktor menyelesaikan ucapannya, Rika meninju pelan lengan Viktor. “Lo tadi enggak lihat ending filmnya? Kenapa ending-nya sedih kayak gitu? Kenapa Bapaknya digigit zombie? Padahal, harusnya dia dan anaknya selamat.”

“Aduh aduh, tayang tayang. Sini, sini peluk dulu. Aduh jangan sedih dong,” ucap Viktor sembari merentangkan tangannya dan berniat untuk memeluk Rika.

Rika spontan menepisnya. “Apaan sih?! Lo malah jadi modus! Kesel banget gue hari ini! Mood gue jadi kacau gara-gara lo ajak gue nonton film ini!”

Viktor mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Kini, dia merasa bersalah.

“Gue minta maaf deh, gara-gara gue mood lo jadi kacau. Lain kali, gue ajak lo nonton film selain genre mystery thriller, horror, apalagi yang ada unsur zombie kayak tadi,” ucap Viktor.

Rika menghela napas pendek. “Sebenernya gue enggak bermaksud salahin lo, sih. Gue juga salah karena enggak tanya dulu ke lo film yang mau ditonton tuh apa. Gue juga kebawa emosi aja, bisa-bisanya filmnya malah sad ending.”

Viktor berdiri dari tempat duduknya. “Ya udah daripada sedih-sedih, mendingan kita makan.”

Rika menggeleng pelan. “Gue enggak nafsu makan, Vik.”

Bibir Viktor melengkung ke bawah. “Kenapa?”

Rika tetap menggeleng pelan. Dia memutuskan untuk keluar dari bioskop, disusul Viktor yang membelakanginya.

“Vik, gue mau ke toilet sebentar, ya,” pamit Rika.

“Perlu gue anter?”

“Enggak usah, nanti ketemu di depan pintu keluar mall aja.”

“Lho? Kita mau langsung pulang?”

“Iya. Emang kenapa?”

“Uhm..., enggak apa-apa sih. Ya udah, gue tunggu di pintu keluar mall ya.”

Rika pun menuju ke toilet untuk sekadar buang air kecil. Sekitar lima menit, akhirnya dia menyelesaikan urusannya di toilet. Lalu, bergegas menuju pintu keluar mall.

Sesampainya di depan pintu keluar mall, dia tidak menemukan Viktor di sana. Kedua matanya berkelana ke arah sekitar, tidak ada tanda-tanda kehadiran Viktor. Dia memutuskan untuk menelepon Viktor. Beberapa kali mencoba menghubungi ponsel Viktor, tetapi ponsel Viktor tidak aktif. Hal itu membuat Rika sedikit jengkel. Sekitar sepuluh menit Rika menunggu kedatangan Viktor.

“Dia ke mana sih? Kan gue minta dia tungguin di depan pintu keluar. Tapi, malah enggak ada.”

Hey, pwetty!” sapa seseorang di belakangnya yang membuat Rika terkejut.

Viktor datang sembari membawa sebuah paper bag yang berisi makanan cepat saji, satu ice cream cone, satu cotton candy, dan satu boneka beruang berukuran sedang. Rika mengerjapkan kedua matanya berkali-kali melihat kehadiran Viktor yang membawa banyak barang seperti ini.

“Lo ke mana aja sih?! Gue nungguin lo di sini tau! Tiba-tiba muncul bawa barang banyak banget!”

“Maaf ya, lo jadi nunggu lama deh. Tadi gue kelamaan nyari tempat cotton candy susah banget. Oh ya, ini semuanya buat lo,” ucap Viktor sembari memberikan barang-barang tersebut kepada Rika secara satu per satu.

“Vik, tapi buat apa segala beliin gue ini semua?”

“Anggap aja, ini permintaan maaf gue karena udah bikin mood lo kacau. Sekaligus buat penghilang rasa sedih gara-gara filmnya sad ending. Terima, ya, pwease?” pinta Viktor.

“Tapi, ini berlebihan, Vik. Lo enggak perlu sampe segininya juga.”

“Rika, pwease?” sekali lagi pinta Viktor sembari menampilkan puppy face-nya.

'Gila ya ini cowok. Kenapa ekspresinya bikin gemes gini sih? Gue kan jadi enggak tega nolaknya,' gerutu batin Rika.

Rika menghela napas pendek. “Ya udah, iya. Gue terima, jadi berhenti nampilin muka melas lo kayak gitu.”

Air muka Viktor kembali terlihat ceria bak matahari yang baru terbit di ufuk timur. “Yeay! Gitu dong, gue kan jadi senang.”

Thanks ya, Vik.”

My pleasure, pwetty! Buruan makan ice cream-nya, nanti keburu mencair.”

To be Continued

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Viktor memarkirkan motornya di tempat parkir yang tersedia di basemen gedung mall. Setelah Rika turun dari motor Viktor, dia menunggu Viktor memarkirkan motornya. Rika berniat ingin berjalan setelah Viktor memarkirkan motornya.

“Rika, tunggu dulu!”

Rika seketika menoleh ke belakang dan menatap Viktor dengan bingung. “Kenapa?”

“Lo enggak mungkin kan ke dalam bioskop pakai helm? Sini, helmnya dilepas dulu ya, pwetty,” tutur Viktor seraya tertawa pelan, lalu membantu Rika untuk melepaskan helm dari kepala Rika.

Rika terpaku saat Viktor melepaskan helmnya.

Okay, done,” Viktor melepaskan helm dari kepala Rika dan sedikit merapikan rambut gadis itu, “nah, kalau helmnya dilepas kan jadi kelihatan cantiknya.”

Rika mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, masih tidak menyangka dengan perlakuan laki-laki menyebalkan ini.

Hey! Ayo, kok malah melamun sih? Nanti kesambet setan lho,” celetuk Viktor sembari berjalan mendahului Rika.

Rika pun menyusul Viktor. Setelah mereka masuk ke dalam mall, Viktor mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam mulai film yang akan ditontonnya.

“Ayo, pwetty! Dua menit lagi filmnya dimulai!” tutur Viktor.

“Dua menit lagi?! Gila—”

Viktor langsung menarik lengan Rika dan berlari menuju lift. Letak bioskop di mall berada di lantai tiga. Sesampainya di depan lift, Viktor menekan tombol lift. Tak butuh waktu lama, pintu lift terbuka. Mereka bergegas memasuki lift. Suasana awkward menyelimuti mereka saat berada di dalam lift.

“Vik, lo kan ngajak gue nonton, tapi sampai sekarang gue belum tau film apa yang mau kita tonton,” kata Rika yang memecah keheningan. Dalam hati dia berharap cemas tentang film yang akan ditonton nanti bukanlah film bergenre horor.

“Tenang aja, bukan film horor kok.”

Rika menghela napas lega. “Syukur deh.”

Viktor menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa? Lo takut, ya?”

“Enggak kok!” elak Rika.

Viktor menyeringai, dia tahu bahwa Rika sedang berbohong. Tak lama, akhirnya mereka sampai di lantai tiga gedung mall. Kedua mata Viktor menelusuri tempat bioskop yang tidak jauh dari tempat lift berada. Mereka pun mulai masuk ke dalam bioskop setelah menunjukkan tiket bioskop. Saat mereka masuk, bertepatan sekali film dimulai. Viktor dan Rika mencari tempat duduk yang tertera di tiket miliknya dan Rika. Mereka menempati tempat duduk di bagian tengah.

Baru permulaan, Rika sudah dikejutkan dengan adegan awal di film. Dia benar-benar terkejut bukan main saat ada adegan sebuah binatang ditabrak oleh sebuah mobil pick up. Viktor juga ikut terkejut, namun bukan karena adegan di film tersebut. Dia justru terkejut dengan reaksi Rika.

“Vik, kasih tau gue genre film apa yang kita tonton,” bisik Rika dengan tatapan tajam.

Mystery or thriller and science fiction, singkatnya sih ini tentang zombie. Gue jamin ini seru, karena gue udah nonton trailer-nya dan emang film ini paling gue tunggu-tunggu keluar di bioskop sih,” jelas Viktor.

Rika spontan meninju pelan lengan Viktor. “Lo kenapa enggak bilang?!”

“Itu gue udah bilang, 'kan? Kenapa sih? Lo takut? Filmnya enggak ada unsur horornya kok. So, chill, okay?”

Rika menggerutu dalam hati. Sejujurnya bukan hanya film bergenre horor saja yang dia hindari, begitu juga dengan film yang mengandung unsur zombie. Pasalnya, dia mudah terkejut dan mudah berteriak.

Sudah beberapa kali Rika terkejut dan menjadi pusat perhatian penonton bioskop lainnya. Tidak jarang Rika tanpa sadar meremas lengan Viktor.

“Vik, filmnya seru. Tapi, gue capek dari tadi kaget mulu,” keluh Rika sembari meremas tangannya sendiri.

Viktor mengalihkan perhatiannya dari layar bioskop. Dia menatap lekat-lekat Rika, dia meraih tangan Rika dan agak terkejut ketika tangan Rika terasa sangat dingin—entah dingin karena pengaruh dari pendingin ruangan atau Rika yang benar-benar lelah karena mudah terkejut. Viktor mulai terlihat khawatir dengan Rika.

“Tangan lo dingin banget, Rika. Lo mau udahan aja nontonnya? Kalau iya, kita udahan aja enggak apa-apa kok,” tutur Viktor tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Rika.

Rika menggeleng pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar bioskop. “Santai, gue enggak apa-apa kok. Ini pendingin ruangannya aja yang emang terlalu dingin. Gue masih sanggup nonton filmnya, kok.”

Viktor berdecak kesal. Sungguh menyebalkan, Rika tidak ingin terlihat lemah di depannya. Viktor melepas hoodie abu-abu yang dipakainya. Lalu, dia memberikannya kepada Rika.

“Pakai hoodie-nya,” titah Viktor sembari menyodorkan hoodie miliknya

Rika menoleh sejenak. “Nanti dulu, itu filmnya—AAAA!!!”

Rika spontan berteriak dan memeluk lengan Viktor ketika sesosok zombie muncul dan menyerang salah satu pemain film ditambah lagi dengan backsound film yang terdengar begitu menggelegar. Viktor terpaku saat Rika benar-benar memeluk lengan Viktor dengan sangat erat. Rika baru tersadar akan perbuatannya setelah dirinya mencium aroma cokelat dari kaus hitam polos yang dikenakan Viktor.

“Ma–maaf,” ucap Rika seraya langsung melepaskan pelukannya.

It's okay. Gue tau lo kedinginan, pakai dulu hoodie-nya.”

“Enggak usah—”

“Rika, pake hoodie-nya sekarang,” tukas Viktor.

Bibir Rika terlihat maju beberapa senti, terlihat kesal dengan Viktor yang terus memaksanya. Dia pun memakai hoodie Viktor yang terlihat oversize saat dipakai dengannya. Padahal, hoodie tersebut pas di tubuh Viktor.

'Aduh, anjir! Kenapa dia jadi kelihatan gemes banget, sih? Bikin repot perasaan gue aja,' gumam batin Viktor.

Beberapa kali Rika kembali kaget dan memeluk Viktor. Sedangkan Viktor terlihat tidak bisa fokus dengan film yang ditontonnya akibat ulah Rika. Jantungnya pun berdegup kencang tak terkendali.

Sekitar satu jam setengah film pun selesai. Rika menghela napas lega, namun kedua matanya terlihat basah. Viktor terlihat bingung saat melihat kedua mata Rika yang tampak basah.

“Eh, lo nangis? Kenapa? Aduh, lo nangis karena lapar ya? Atau—”

Belum sempat Viktor menyelesaikan ucapannya, Rika meninju pelan lengan Viktor. “Lo tadi enggak lihat ending filmnya? Kenapa ending-nya sedih kayak gitu? Kenapa bapaknya digigit zombie? Padahal, harusnya dia sama anaknya selamat.”

“Aduh aduh, tayang tayang. Sini, sini peluk dulu. Aduh jangan sedih dong,” ucap Viktor sembari merentangkan tangannya dan berniat untuk memeluk Rika.

Rika spontan menepisnya. “Apaan sih?! Lo malah jadi modus! Kesel banget gue hari ini. Mood gue jadi kacau gara-gara lo ajak nonton film ini.”

Viktor mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Kini, dia merasa bersalah.

“Gue minta maaf deh, gara-gara gue mood lo jadi kacau. Lain kali, gue ajak lo nonton film yang bukan genre mystery thriller, horror, apalagi yang ada unsur zombie kayak tadi,” ucap Viktor.

Rika menghela napas pendek. “Gue enggak bermaksud salahin lo. Gue juga salah karena enggak tanya dulu ke lo film yang mau ditonton. Gue juga kebawa emosi aja, bisa-bisanya ending filmnya malah sad.”

Viktor berdiri dari tempat duduknya. “Ya udah, daripada sedih-sedih, mendingan kita makan.”

Rika menggeleng pelan. “Gue nggak nafsu makan.”

Bibir Viktor melengkung ke bawah. “Kenapa?”

Rika tetap menggeleng pelan. Dia memutuskan untuk keluar dari bioskop, disusul Viktor yang membelakanginya.

“Vik, gue mau ke toilet sebentar, ya,” pamit Rika.

“Perlu gue anter?”

“Enggak usah, nanti ketemu di depan pintu keluar mall aja.”

“Lho? Kita mau langsung pulang?”

“Iya. Emang kenapa?”

“Uhm..., enggak apa-apa sih. Ya udah, gue tunggu di pintu keluar mall ya.”

Rika pun menuju ke toilet untuk sekadar buang air kecil. Sekitar lima menit, akhirnya dia menyelesaikan urusannya di toilet. Lalu, bergegas menuju pintu keluar mall.

Sesampainya di depan pintu keluar mall, dia tidak menemukan Viktor di sana. Kedua matanya berkelana ke arah sekitar, tidak ada tanda-tanda kehadiran Viktor. Dia memutuskan untuk menelepon Viktor. Beberapa kali mencoba menghubungi ponsel Viktor, tetapi ponsel Viktor tidak aktif. Hal itu membuat Rika sedikit jengkel. Sekitar sepuluh menit Rika menunggu kedatangan Viktor.

“Dia ke mana sih? Kan gue minta dia tungguin di depan pintu keluar. Tapi, malah enggak ada.”

Hey, pwetty!” sapa seseorang di belakangnya yang membuat Rika terkejut.

Viktor datang sembari membawa sebuah paper bag yang berisi makanan cepat saji, satu ice cream cone, satu cotton candy, dan satu boneka beruang berukuran sedang. Rika mengerjapkan kedua matanya berkali-kali melihat kehadiran Viktor yang membawa banyak barang seperti ini.

“Lo ke mana aja sih?! Gue nungguin lo di sini tau! Tiba-tiba muncul bawa barang banyak banget!”

“Maaf ya lo jadi nunggu lama deh. Tadi gue kelamaan nyari tempat cotton candy susah banget. Ini semuanya buat lo,” ucap Viktor sembari memberikan barang-barang tersebut kepada Rika secara satu per satu.

“Vik, tapi ngapain segala beliin gue ini semua?”

“Anggap aja, ini permintaan maaf gue karena udah bikin mood lo kacau. Sekaligus buat penghilang rasa sedih gara-gara filmnya sad ending. Terima, ya, pwease?” pinta Viktor.

“Tapi, ini berlebihan, Vik. Lo enggak perlu sampe segininya juga.”

“Rika, pwease?” sekali lagi pinta Viktor sembari menampilkan puppy face-nya.

'Gila ya ini cowok. Kenapa ekspresinya bikin gemes gini sih? Gue kan jadi enggak tega nolaknya,' gerutu batin Rika.

Rika menghela napas pendek. “Ya udah, iya. Gue terima, jadi behenti nampilin muka melas lo itu.”

Air muka Viktor kembali terlihat ceria bak matahari yang baru terbit di ufuk timur. “Yeay! Gitu dong, gue kan jadi senang.”

“Thanks ya, Vik.”

My pleasure, pwetty! Buruan makan ice cream-nya, nanti keburu mencair.”

To be Continued

“Asyik, udah jadi kapten basket nih sekarang,” goda Hasa.

Viktor berdecak kesal. “Bukannya senang, gue malah kepikiran beban tanggung jawabnya, Cil.”

Hasa William Geraldo, adik kelasnya yang sangat dekat dengannya sejak berada di sekolah menengah pertama itu sering dipanggil 'Bocil' (bocah kecil) oleh Viktor dan ketiga temannya.

“Emang jadi kapten basket tanggung jawabnya berat, ya?” tanya Hasa masih sambil berjalan.

“Iyalah, Cil. Lo tau sendiri kan, Kak Andreas, mantan kapten basket kita, dia udah banyak banget cetak prestasi buat sekolah dan bikin nama tim basket sekolah kita jadi lebih banyak dikenal sekolah lain,” tutur Viktor.

Hasa mengangguk paham sembari menggaruk tengkuk kepalanya. “Iya juga ya. Tapi, pasti Kak Andreas udah mikir matang-matang sebelum nunjuk Bang Viktor buat gantiin dia. Hasa juga percaya kalau Bang Viktor pasti bisa mengemban tugas sebagai kapten basket. Semangat dong, Bang!”

Viktor melirik kilas Hasa, tidak habis pikir dengan adik kelasnya ini yang selalu terlihat semangat. Dia menyunggingkan senyum kecil, lalu mengacak-acak pelan rambut Hasa. “Thanks ya, Cil, udah percaya sama gue.”

Hasa tersenyum manis dan mengangguk pelan. “Ayam kremes dua box ya, Bang!”

Viktor menjitak kepala Hasa. “Dasar Bocil! Ternyata ada maunya lo ya!”

Hasa tertawa kencang. “Bercanda, Bang.”

Saat ini, mereka baru saja selesai latihan basket sekaligus diskusi pemilihan kapten basket baru untuk menggantikan Andreas, yang notabenenya sudah menduduki bangku kelas tiga. Karena pihak sekolah melarang murid kelas tiga mengikuti ekstrakurikuler dengan alasan agar fokus dengan ujian kelulusan yang akan mereka hadapi nanti. Arloji biru berlin di tangan Viktor menunjukkan pukul lima sore. Koridor lantai satu gedung B tampak lengang. Viktor dan Hasa berniat untuk menuju ruang ganti.

Sebelum mereka menuju ruang ganti, mereka harus melewati koridor dengan sisi yang dipenuhi lemari loker untuk murid kelas dua gedung B. Saat Hasa dan Viktor sedang asyik berbincang sambil sesekali bercanda, terdengar keributan yang menggema ke seluruh koridor lantai satu gedung B. Hal itu membuat Hasa dan Viktor menghentikan obrolan dan candaannya dengan Hasa. Dia menautkan kedua alisnya saat melihat pemandangan yang menjadi sumber keributan itu. Tanpa sadar, tangan kanannya mengepal.

“Itu gengnya Kak Zaydan kan ya, Bang?”

Viktor tidak menjawab. Dia berjalan dengan langkahnya yang cepat. Hasa tidak sempat menahan Viktor. Viktor langsung menarik Rivan menjauh dari seorang murid perempuan yang terlihat sangat ketakutan. Dia berdiri di depan murid perempuan itu.

“Mau apa lo?” ketus Viktor.

Rivan seketika mendorong Viktor. “Kenapa lo ikut campur, huh?! Mau jadi pahlawan kesiangan lo?!”

Viktor mendengkus kesal. “Lo laki, 'kan? Kenapa beraninya sama perempuan? Lo ngapain gangguin dia?”

Rivan yang tidak terima sudah didorong oleh Viktor, langsung melayangkan tinju ke wajah Viktor.

“Kenapa? Kesakitan lo?” celetuk Rivan.

Tanpa banyak bicara, Viktor membalas pukulan Rivan. Bukannya melerai, Zaydan dan Dean malah ikut memukul Viktor. Hasa mulai panik, berusaha untuk memisahkan Viktor dari Rivan dan yang lainnya. Namun, apa daya dia malah terdorong dan terkena pukulan.

Hasa pun tidak sanggup. Viktor terlibat pertikaian sengit dengan Rivan dan kedua temannya. Bayangkan saja satu lawan tiga orang. Sudah dipastikan Viktor tidak bisa bertahan lama menghadapi mereka. Hasa memutuskan untuk menghubungi Jevan.

Butuh waktu lima menit untuk Jevan sampai di koridor gedung B, karena Jevan sedang berada di perpustakaan bersama Ardio dan jarak dari perpustakaan ke gedung B cukup jauh. Jevan dan Ardio datang dan bergegas melerai mereka. Jevan dan Ardio menarik Rivan dan kedua temannya. Sedangkan Hasa menarik Viktor yang kini sudah terlihat kacau.

“Kalian ngapain sih berantem?! Mau jadi jagoan di sekolah, huh?! Dipikir kalian keren berantem kayak gitu?!” omel Jevan.

Rivan masih menatap bengis Viktor. Bahkan, dia hampir memukul Viktor kembali jika seandainya Jevan tidak menahannya dan mengeluarkan jurus taekwondo yang membuat Rivan meringis kesakitan.

“Urusan lo sama gue belum selesai, bangsat!” ketus Rivan.

Rivan dan ketiga temannya itu bergegas meninggalkan Viktor dan yang lainnya.

“Lo juga, Sa! Kenapa muka lo lebam gitu?! Ikut berantem juga lo, huh?! Bukannya pisahin malah ikut berantem!” omel Jevan.

Hasa mendelik kaget karena terkena omelan Jevan. “Astaga, enggak, Bang! Niat hati tadi Hasa mau pisahin mereka, tapi Hasa malah kena tampol sama kedorong, Bang.”

Viktor teringat dengan murid perempuan yang diganggu oleh Rivan dan teman-temannya. Dia tidak melihat murid perempuan itu di tempat semula. Dia berjalan menelusuri koridor dan menemukan murid perempuan itu tengah bersembunyi ketakutan di dekat loker.

Hey, hey, it's okay. Sekarang udah enggak ada yang berani gangguin lo lagi kok. Lo aman sama gue,” tutur Viktor dengan lembut.

Sementara itu, Hasa sibuk menjelaskan kronologi kejadian kepada Jevan dan Ardio.

“Lo murid baru ya? Satu angkatan sama Hasa?” tanya Viktor.

Perempuan itu hanya mengangguk patah-patah. Wajahnya masih tertunduk dan tidak berani menatap Viktor.

“Vik, is she okay?” tanya Jevan dari kejauhan.

Viktor menoleh ke arah Jevan. “Still a little shocked i guess. Tapi, enggak ada yang terluka kok.”

Jevan dan yang lainnya menghampiri Viktor dan murid perempuan dengan rambut sebahu itu. Namun, perempuan itu malah terlihat tidak nyaman.

“Enggak usah takut. Mereka ini teman-teman gue, mereka baik kok,” tutur Viktor.

Perempuan itu perlahan mulai memberanikan diri menatap Viktor dan yang lainnya. Hasa tersenyum manis kepada perempuan itu, Jevan tersenyum ramah dan melambaikan tangannya, dan Ardio tersenyum simpul.

“Te–terima kasih, Kak. Kalau gitu, a—aku pulang duluan,” ucapnya terbata-bata, sepertinya karena masih ketakutan.

“Eh tapi...,” belum sempat Viktor menyelesaikan ucapannya, perempuan itu sudah berlari meninggalkan mereka.

“Jev, Ar, tolong lihatin dia deh di depan. Seengaknya pastiin Rivan and the gang enggak gangguin dia lagi. Gue sama Hasa mau ganti baju dulu,” pinta Viktor.

Jevan mengangguk paham dan pergi bersama Ardio untuk menyusul perempuan itu. Sementara itu, Hasa dan Viktor menuju ruang ganti untuk mengganti baju mereka.

—To be Continued—