🍁 Healer 🍁

Hasa, Dimas, dan Ardio sudah tiba di rumah Viktor sejak dua puluh menit yang lalu. Mereka kini sedang menemani Viktor. Jevan sudah memberitahu yang lain bahwa ia akan datang terlambat karena ada rapat dadakan dengan para anggota MPK.

Hasa dan Dimas sedang asyik mengobrol di balkon kamar Viktor, Ardio memilih untuk masuk ke dalam kamar untuk menemani Viktor. Viktor sedang sibuk membaca komik yang baru saja dibawakan oleh Ardio. Kedua netra Ardio menangkap sebuah benda di atas nakas yang mengganggu pikirannya sejak dia datang ke kamar Viktor.

Ardio mendengar Viktor tertawa saat membaca komik.

“Miko kenapa gemes banget sih, anjir,” ungkap Viktor dengan sisa tawanya.

Ardio mengambil posisi duduk di samping Viktor. “Vik—”

“Oh iya, kalian mau makan apa? Biar nanti gue pesenin,” tanya Viktor dengan suara yang agak sedikit keras agar terdengar oleh Hasa dan Dimas yang berada di balkon.

“Enggak usah repot-repot, Bang,” sahut Hasa.

“Halah! Sok nolak lo, Cil! Padahal tadi lo bilang, lo kangen dessert box buatan Mama Sarah,” celetuk Dimas.

Hasa spontan menyikut Dimas.

Viktor tertawa kecil. “Mama gue masih harus istirahat lagi, Cil. Dua hari yang lalu dia baru aja pulang dari rumah sakit. Terus kemarin dia kurang istirahat lagi karena harus ngurusin gue. Nanti kapan-kapan gue coba minta Mama bikin dessert box, ya.”

“Ya udah, Vik, delivery pizza aja,” usul Dimas.

Ardio kembali mengurungkan niatnya untuk melontarkan pertanyaan yang berada di otaknya.

“Lo mau pizza, Ar? Atau mau ramen aja? Lo kan suka ramen tuh,” tanya Viktor.

“Enggak usah, pizza aja.”

Viktor mengangguk pelan dan mulai memesan makanan melalui gawainya.

“Sejak kapan lo mulai sebat?” tanya Ardio yang kini tidak tahan lagi berperang dengan batin dan otaknya. Hingga akhirnya, dia lebih memilih untuk melontarkan pertanyaan itu.

Viktor menghentikan gerakan jarinya yang lincah menyentuh layar gawainya. Dia terpaku, lantas mengerjapkan kedua netranya beberapa kali. Dia melirik nakas yang berada di samping Ardio.

'Sial, gue lupa taro rokoknya di laci nakas.'

“Baru-baru ini kok.”

“Kenapa?”

Viktor menutup buku komiknya, lalu meletakkan ponselnya di atas pangkuannya. Sorot matanya yang kosong menatap ke sembarang arah, sengaja menghindari kontak mata dengan Ardio.

I don't know? I..., I have no reasons, Ar,” Viktor menghela napas berat.

Yes, you have. Tapi, lo enggak bisa cerita ke gue karena lo lebih nyaman cerita ke Jevan, right?”

Kedua Viktor langsung menatap Ardio, berusaha menyangkal ucapan Ardio melalui tatapan matanya. “Bukan gitu maksud gue, Ar. Gue cuma..., sht, it messed me up, Ar.”

Ardio menepuk-nepuk pelan pundak Viktor. “Take your time, buddy.

Viktor tersenyum kecil. “Thanks, Ar. Uhm..., by the way, tolong jangan kasih tau ke yang lain ya soal gue ngerokok.”

Ardio tertawa pelan. “Kenapa? Dimas juga ngerokok, kok. Toh, mereka juga pasti paham kenapa lo mutusin buat ngerokok.”

Knock! Knock! Knock!

Seseorang mengetuk pintu kamar Viktor. Viktor terdiam sejenak. Tidak mungkin pesanannya sudah sampai secepat ini. Karena biasanya pesanan makanan akan sampai sekitar tiga puluh menit setelah memesan. Tetapi, ini belum ada tiga puluh menit dan makanan pesanannya sudah datang?

“Biar gue yang buka, Vik,” ucap Dimas yang masuk ke dalam kamar, disusul Hasa yang kemudian duduk di atas karpet.

Dimas tertegun sejenak saat melihat kedatangan Jevan dengan seorang gadis di belakangnya.

“Lama banget lo, anjir. Terus, apa nih? Kok tiba-tiba ada cew—”

“Gue boleh masuk?” pungkas Jevan sebelum Dimas mengoceh lebih panjang lagi.

Sure.”

Dimas pun mempersilakan Jevan masuk ke dalam kamar Viktor.

“Siapa, Dim? Kakak gue ya—eh, Jev, akhirnya datang juga lo,” sambut Viktor dengan ceria, namun di detik selanjutnya terpaku saat melihat seorang gadis muncul di belakang Jevan.

“Jev,” air muka Viktor langsung berubah menjadi datar.

“Kenapa?”

Hasa dan Ardio terperangah dengan kehadiran Jevan—ralat, dengan gadis yang datang bersama Jevan saat ini.

Rupanya, Jevan tidak pernah main-main dengan ucapannya.

“Oh iya. Ini ada Rika, katanya dia mau jenguk lo juga. Jadi, tadi sekalian ke sini bareng gue,” jelas Jevan.

“Gue kan udah bilang, lo enggak usah datang ke sini,” ketus Viktor dengan wajah datarnya.

Semuanya terdiam saat mendengar ucapan Viktor. Atmosfer di kamar Viktor berubah menjadi agak canggung.

“Uhm..., ya udah, kalau gitu gue balik aja,” ucap Rika dengan suara gemetar.

Viktor melirik ke arah tangan Rika yang memegang paper bag agak sedikit gemetar.

Viktor berdecak, dia beranjak dari tempat tidurnya dan menarik tangan Rika untuk keluar dari kamarnya. Sebelum benar-benar pergi, kepala Viktor kembali muncul dari balik pintu kamarnya.

“Kalian di kamar aja. Jangan ada yang macem-macem lagi,” titah Viktor sembari melirik ke arah Jevan dengan tatapan datar.

Dimas mendelik. “Lho? Harusnya kita yang bilang kayak gitu, woi? Lo jangan macem-macem sama anak gadis orang, oi!”

Viktor tak menggubris, hanya menyunggingkan senyum kecil.

Viktor menyuruh Rika untuk mengikutinya ke ruang tamu. Rika bersumpah ingin segera pergi dari tempat ini, terlebih setelah mendapat sambutan yang tidak ramah dari tuan rumah.

“Kalau lo enggak nyaman, gue beneran balik aja. Enggak apa-apa kok,” ucap Rika.

Viktor duduk di salah satu sofa yang berada di ruang tamu. “Duduk, enggak ada yang nyuruh lo buat pulang.”

“Tapi, tadi lo—”

Sit down, please?”

Gadis itu akhirnya duduk di samping Viktor.

“Katanya ada kerja kelompok, kenapa tetap datang?” tanya Viktor sembari menatap Rika dengan tatapan datar.

“Enggak ada alasan khusus, sih. Karena gue lagi sempat aja. Kebetulan Jevan juga sempat nawarin bareng. Jadi, ya udah deh gue datang.”

Viktor mengalihkan tatapannya ke tangan Rika yang masih terlihat gemetar.

“Maaf ya, tadi gue jadi bikin lo enggak nyaman,” ungkap Viktor, kali ini tatapannya mulai melunak.

“Hah? Enggak kok,” balas Rika diakhiri dengan kekehan.

“Tangan lo masih gemetaran, Rik. Lo enggak apa-apa?”

Rika tersenyum kecil. “Gue enggak apa-apa kok. Oh ya, ini gue bawain lo beberapa buah mangga sama garlic bread. Maaf ya, gue cuma bisa bawain ini.”

Viktor menatap lekat-lekat gadis cantik yang ada di hadapannya itu. Lalu, tersenyum kecil. “Gue enggak butuh semua itu.”

“Hah? Terus, lo enggak mau terima barang bawaan gue, nih? Gue udah capek-capek lho bawain ini buat lo,” gerutu Rika sembari memajukan bibirnya beberapa senti.

“Tuhan, gemes banget.”

Rika mengerutkan dahinya. “Pardon?”

Viktor menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lantas, mengalihkan pandangannya dari Rika. “Sebenarnya lo enggak perlu repot-repot bawain ini semua buat gue. Karena, gue cuma butuh satu.”

“Apa?”

“Lo,” Viktor kini menatap lekat-lekat gadis pemilik manik cokelat kayu itu, “lo aja cukup buat gue.”

Viktor mengambil jeda sejenak. “Wanna know why? Because you are my healer.

Rika berusaha untuk mengalihkan perhatiannya dari tatapan mata Viktor yang terlihat menawan—siapapun yang menatapnya pasti kesulitan untuk melepaskan pandangannya.

Ponsel Rika bergetar. Dia pun memutuskan untuk melihat pesan masuk tersebut.

“Uhm..., sorry ya Vik. Gue enggak bisa lama, Mama gue udah nyuruh gue buat pulang,” ungkap Rika setelah membaca pesan masuk yang ternyata dari Ibunya itu.

“Yah, kok sebentar sih,” bibir tipis Viktor melengkung ke bawah, “ya udah deh, enggak apa-apa. Thanks ya, udah luangin waktu buat jenguk gue.”

Rika tersenyum manis. “Santai aja, sih.”

“Lo pulang sendiri? Di luar udah mulai gelap. Biar lebih aman, dianterin aja sama Dimas, ya?”

“Eh, enggak usah, Vik. Gue ngerepotin Dimas nanti.”

“Biarin aja, sih. Dimas juga hidupnya ngerepotin gue mulu.”

Rika menggeleng tegas. “Enggak perlu, Viktor. Lagian, gue juga dijemput sama orang kok. Kebetulan katanya dia lewat sekitaran sini karena habis dari rumah Tantenya.”

Viktor menaikkan sebelah alisnya. “Siapa? Abang ojol?

Rika menggeleng. “Bukan, sama Rivan.”

Viktor seketika terpaku. “Rivan?”

—To be Continued—