🦋 Blue Hour 🦋

Sore ini, kumpulan awan yang sendu tampak menggantung di langit. Koridor sekolah yang lengang terdengar derap langkah kaki yang tergesa-gesa.

“Bang, demi Tuhan, kita enggak bisa santai dikit jalannya?”

Jevan menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Hasa yang sudah dibanjiri peluh di keningnya dan napasnya yang terengah-engah. Sementara itu, Ardio menyeka peluh yang menetes di dahinya dengan punggung tangannya. Hasa baru saja selesai latihan basket dan langsung bergegas menyusul Jevan saat mengetahui Jevan akan menuju ke lokasi tawuran—tanpa mengganti bajunya lagi. Ardio yang masih berada di ruang klub fotografi ikut bergegas menyusul Jevan.

“Gue enggak minta kalian buat ikut sama gue. Kalian tunggu kabar aja di rumah masing-masing, paham? Biar gue sendiri yang ke lokasi tawuran,” Jevan berusaha memberikan pengertian kepada Hasa dan Ardio.

Hasa refleks mendelik mendengar penuturan Jevan. “Astaga! Bang Jevan udah gila atau gimana sih?! Bang Jevan pikir Hasa bakalan sebodoh itu nurutin permintaan Bang Jevan?! Hasa masih waras, Bang! Cukup Bang Viktor dan Bang Dimas aja yang sekarang masih enggak ada kabar dan bikin Hasa khawatir!”

Jevan tersulut emosi. Dia mencengkeram kerah baju Hasa dan mendorongnya hingga terbentur dinding koridor. “Terus apa gunanya lo ikut sama gue?! Lo sadar enggak sih?! Kalau lo ikut, lo cuma bikin susah gue di sana!”

Hasa tertegun sejenak. Dia tersenyum hampa, sorot matanya menandakan kekecewaan atas ucapan Jevan. “Hasa bikin susah Bang Jevan, ya?”

“Iya! Lo cuma bikin gue susah! Paham lo?!” ketus Jevan.

“Mau sampai kapan kalian berantem? Kalian pikir dengan debat enggak penting kayak gini, kalian bakalan tau keadaan Dimas dan Viktor?” lerai Ardio.

Jevan melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Hasa. Wajahnya masih sedikit memerah, masih tersisa sedikit amarah di wajahnya. Dia merogoh saku celananya saat merasakan ponselnya bergetar. Kedua netranya membaca pesan singkat yang tertera di layar ponselnya.

Pesan singkat itu didapatkan dari seseorang yang dikenalnya. Jevan mengerjapkan kedua matanya berkali-kali setelah membaca pesan singkat tersebut. Sorot matanya terlihat sayu, jantungnya terasa mencelos.

“Jev? Lo kenapa?” tanya Ardio.

Dia menatap Ardio dan Hasa secara bergantian.

“Dua orang yang salah sasaran itu, ternyata beneran mereka.”


Seorang laki-laki sedang duduk di bangku yang berada di depan Ruang Unit Gawat Darurat. Wajahnya tenggelam di balik kedua telapak tangannya. Rasa khawatir terus mengerubungi pikirannya, tatkala rasa sakit yang terdapat di beberapa lukanya itu diabaikannya. Sudah sekitar dua puluh menit dia berada di ruangan ini hanya untuk menunggu kabar tentang kondisi temannya.

“Dimas!”

Wajahnya yang masih tenggelam di kedua telapak tangannya tetap tidak berkutik, tatkala kedua telinganya menangkap seruan seseorang yang dikenalinya.

“Bang Dimas!”

Suara itu semakin terdengar menghampirinya. Dia membuka kedua telapak tangannya yang menutupi wajahnya. Seseorang yang memanggilnya terlihat terkejut dengan wajah Dimas—matanya memerah dan sembab, luka memar dan lebam terdapat di sudut bibir dan matanya serta lengan kanannya dibalut dengan kain kasa.

“Dim—” belum sempat menyelesaikan ucapannya, Dimas refleks memeluk Jevan, lantas tangisnya pecah di dekapan teman dekatnya itu.

“Viktor, Jev. Viktor....”

Jevan tak ingin bertanya banyak hal, walau rasa penasarannya sudah mulai mendesak bibirnya untuk segera melontarkan banyak pertanyaan kepada Dimas.

He will be okay, Dim,” bisik Jevan sembari mengusap-usap punggung Dimas.

Hasa tak banyak bicara, air mukanya sudah berubah suram saat pertama kalinya melihat Dimas menangis seperti ini. Pilu sekali mendengarnya. Karena sebelumnya Dimas tidak pernah menangis di depannya atau teman-temannya yang lain.

Begitu pun Ardio yang kini masih terpaku melihat keadaan Dimas. Beberapa menit mereka lalui hanya dengan keheningan dan isakan tangis Dimas yang terdengar.

“Tante Sarah udah tau kabar Viktor?” tanya Ardio kepada Dimas.

Dimas menggeleng pelan. “Belum. Gue belum kasih tau keluarganya Viktor. Gue dengar, Tante Sarah baru keluar rumah sakit hari ini. Jadi, enggak mungkin gue kasih tau dia. Gimana kalau nanti dia drop lagi pas dengar kabar soal anaknya?”

“Tapi, Tante Sarah bukan dirawat di rumah sakit ini kan?” tanya Hasa.

“Bukan, Sa. Dia dirawat di rumah sakit lain,” jawab Dimas.

“Bang Dimas kok bisa ketemu sama Bang Viktor?”

Dimas melirik kilas Hasa, lalu menghela napas pelan. “Pulang sekolah tadi gue izin enggak latihan futsal, karena hari ini gue udah janji mau temenin adik gue ke tempat les piano. Tapi, pas di gerbang sekolah gue ketemu Viktor mau jalan ke halte. Dia juga izin enggak latihan basket karena mau bantuin Mamanya beresin barang-barang. Hari ini Mamanya mau pulang dari rumah sakit.”

“Terus?” Hasa terlihat penasaran.

“Gue ajak dia buat balik bareng, karena rumah sakit tempat Tante Sarah dirawat itu emang searah sama arah gue balik. Pas gue dan Viktor sampai di Jalan Durian Empat, tumben banget jalanan itu sepi. Biasanya itu jalanan ramai. Gue sempat mikir ada yang enggak beres nih. Benar aja, selang beberapa detik ada rombongan anak sekolah SMA Garuda Bangsa dari arah berlawanan, terus di belakang muncul juga anak sekolah SMA Bintang Jaya. Demi Tuhan, gue enggak ada kabar apapun dari kenalan gue di dua sekolah itu kalau hari ini bakal ada tawuran. Kalau gue tau, gue juga lebih milih muter lewat jalan lain, walaupun jarak tempuhnya jadi agak jauh.”

Dimas mengambil napas sejenak. Rasanya sesak sekali mengingat kejadian buruk yang baru saja menimpanya dan Viktor. Saat kelas sepuluh Dimas memang sempat terlibat dengan aksi tawuran. Tetapi, sejak pergantian kepala sekolah dan peraturan mulai diketatkan kembali, Dimas lebih memilih untuk tidak berurusan dengan aksi tawuran lagi.

“Perlu gue ceritain gimana chaos-nya saat itu? Gue....,” bibir Dimas bergetar, tak sanggup mengatakan apa yang terjadi.

Hasa mengulum senyum kecil yang terlihat menenangkan hati. Dia mengusap pelan pundak kakak kelasnya itu. “Kalau enggak sanggup buat cerita, enggak usah dipaksa buat cerita, Bang Dim. Enggak apa-apa kok.”

Dimas mengatur napasnya sejenak. Lalu, dia kembali menceritakan kejadian saat dia dan Viktor memutuskan untuk turun dari motor. Dimas lebih memilih untuk meninggalkan motornya karena situasi yang tidak memungkinkan jika dia harus menerobos gerombolan anak-anak sekolah yang sudah siap dengan berbagai senjata tajam. Dia juga menceritakan bagaimana keadaan berubah menjadi kacau, bagaimana paniknya saat dia dan Viktor mulai terpisah sampai akhirnya dia menemukan Viktor sedang tergeletak lemas di pinggir jalan dengan banyak luka di sekujur tubuhnya.

Selang dua menit Dimas selesai bercerita, seorang dokter dan perawat keluar dari Ruang Unit Gawat Darurat.

“Permisi, apa di sini ada salah satu kerabat dari pasien?”

“Maaf, Dok. Kerabatnya belum ada yang bisa datang, kami temannya. Gimana keadaan pasien ya, Dok?” Jevan yang angkat bicara.

“Beruntung sekali pasien dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Luka di lengan kanannya mendapat lima belas jahitan dan di dahinya dua puluh lima jahitan. Pasien diperbolehkan pulang esok hari ya, karena pasien masih harus kami periksa secara berkala mengenai kondisinya. Oh iya, pasien akan kami pindahkan ke ruang rawat dan baru bisa dijenguk,” jelas dokter tersebut.

“Terima kasih, Dok,” balas Jevan.

Dokter tersebut mengangguk pelan. Dokter dan perawat tersebut kembali ke dalam Ruang Unit Gawat Darurat, lalu beberapa perawat keluar dari ruangan tersebut sembari membawa Viktor yang masih terkulai lemah di atas ranjang beroda untuk dibawa ke ruang rawat.

Jevan, Dimas, Ardio, dan Hasa benar-benar terpaku saat melihat keadaan Viktor.

—To be Continued—