đź§Ş Mole đź§Ş

“When I see you smiling. I'm lost for words.”

“Vik, sini kertas soalnya bagi rata,” ucap Rika.

Rika dan Viktor baru saja selesai bertemu dengan Bu Jena di ruangannya. Mereka diberikan pengarahan oleh Bu Jena mengenai hal-hal yang harus dilakukan sebelum mengikuti kompetisi kimia dan diberikan tumpukan kertas mengenai soal-soal latihan untuk keperluan kompetisi kimia.

Kini, Rika dan Viktor memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sekolah. Tentunya setelah terjadi perdebatan kecil di antara kedua manusia tersebut. Rika yang ingin belajar di kantin dengan alasan saat perutnya berdemo untuk minta diisi, dia bisa langsung pergi membeli makanan. Sedangkan Viktor lebih memilih belajar di taman sekolah karena suasananya yang sejuk dan efektif untuk belajar.

Namun akhirnya, mereka memutuskan untuk belajar di perpustakaan sekolah.

“Iya, sebentar. Gue lagi pilihin soal-soal yang susah buat lo,” sahut Viktor.

Ucapan Viktor jelas saja mendapat sambutan delikan dari Rika. “Lo jangan mulai mancing perkara deh ya.”

“Lo aja yang sensitif.”

Sebuah buku lumayan tebal sukses melandas di kepala Viktor. Viktor refleks meringis pelan akibat Rika yang mendera Viktor dengan buku lumayan tebal yang berisi rumus-rumus kimia.

“Ih, lebay! Gue mukulnya pelan juga.”

Viktor refleks menoleh ke arah Rika, kedua pupilnya membesar. “Pelan? Udah jelas lo mukul gue dengan penuh rasa dendam, amarah, dan kesal yang tak terkira.”

“Bacot! Mana kertas soal buat gue? Keburu sore ini.”

“Nih, cerewet!” gerutu Viktor sembari menyodorkan tumpukan lembaran kertas yang sudah dibagi dua, tepat di wajah Rika.

Viktor menatap lembaran kertas yang ada di hadapannya sejenak. Kepalanya terasa berat dan seakan dirinya berada di permainan tornado; terasa berputar-putar. Dia memegangi kepalanya sembari menarik rambutnya—kepalanya terasa sakit dan punggungnya mulai terasa nyeri. Kedua matanya terus mengerjap, berusaha mengembalikan penglihatannya yang mulai kabur.

Sudah beberapa hari terakhir, dia mengalami gejala-gejala aneh ini. Memang Viktor termasuk anak yang paling aktif di antara kedua saudara perempuannya dan keempat temannya. Beberapa hari terakhir dia juga mengalami perubahan suasana hati yang cenderung ekstrem.

Rika masih tidak menyadarinya dan masih asyik dengan lembaran kertas di hadapannya. Viktor berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan menekan rasa sakit di kepala dan rasa nyeri di punggungnya.

“Vik, kata Bu Jena kita harus punya target waktu buat pelajarin semua soal ini. Otomatis, kita harus punya target juga dong per hari harus belajar berapa materi—” Rika menoleh ke arah Viktor dan terkejut, “Vik? Lo kenapa?”

Viktor menggeleng pelan. “Enggak, gue enggak apa-apa, kok.”

“Muka lo pucat, Vik. Darah rendah lo kambuh lagi, ya? Lo bawa obatnya—”

“Gue enggak apa-apa, Rika!” bentak Viktor dengan kedua pupil yang membesar, sorot matanya terlihat kesal.

Rika terperanjat mendengar nada bicara Viktor yang meninggi. Dia tidak pernah melihat Viktor seperti ini—oh tidak, kecuali ketika dia menjenguk Viktor di rumahnya. Untuk kedua kalinya, Viktor membentak Rika. Beruntung, saat ini perpustakaan tidak begitu ramai dan mereka juga menempati tempat yang jauh dari jangkauan penjaga perpustakaan.

Tatapan Viktor terlihat melunak. Dia memejamkan kedua matanya sejenak dan menundukkan kepalanya.

“Maaf.”

Rika menghela napas pelan. Dia yang berada di samping Viktor, mulai menjaga jarak dari Viktor. Viktor menyadari hal itu. Dia menggenggam hangat tangan Rika.

“Kalau lo capek, kita lanjut besok aja. Jangan terlalu paksain diri lo sendiri kayak gini,” ucap Rika.

Rasa sakit di kepala dan nyeri di punggungnya belum kunjung mereda, namun ucapan gadis itu terdengar menenangkan sekali. Kedua netranya yang masih kabur menatap wajah cantik gadis itu.

“Gue minta maaf ya karena udah bentak lo, sampai lo kaget kayak gitu,” tutur Viktor.

Kedua sudut bibir gadis itu tersenyum hangat, lalu menggeleng pelan. “Enggak apa-apa, kok. Lo pasti lagi capek banget, ya?”

Rasa sakit di kepala dan rasa nyeri di punggungnya belum kunjung reda, kini malah ditambah jantungnya berdegup tidak karuan ketika melihat gadis itu tersenyum. Damage-nya tidak main-main.

'What the hell is that? When I see her smile, I'm lost for words,' batin Viktor.

Viktor memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Dia berusaha untuk mengabaikan sakit di kepala dan rasa nyeri di punggungnya. Dia mulai mengalihkan fokusnya ke lembaran-lembaran kertas yang berada di hadapannya.

Viktor berdeham pelan. “Jadi, gimana kalau per satu hari kita belajar sekitar empat materi? Lo sanggup?”

Rika terdiam sejenak, memikirkan jawaban. “Sanggup aja, sih. Tapi, kenapa enggak dua materi aja per hari? Maksud gue, lebih baik kita belajar sedikit materi dan paham dengan baik daripada belajar banyak materi, tapi ternyata enggak terlalu paham.”

“Okay, dua materi per hari. Tapi, include weekend juga atau setiap pulang sekolah aja?”

“Kalau bisa sih, weekend juga harus, biar bisa kejar target juga kan? Karena lumayan banyak juga, materi yang belum kita pelajarin.”

Viktor mengangguk paham. Dia melirik arloji hitam di pergelangan tangannya. Rasa sakit di kepala dan rasa nyeri di punggungnya mulai sedikit berkurang. Masih ada waktu sekitar dua puluh lima menit lagi sebelum perpustakaan sekolah ditutup. Mereka memutuskan untuk menjawab beberapa soal di lembaran yang sudah diberikan oleh Bu Jena.

Saat Rika sedang sibuk mengerjakan soal, Viktor sesekali curi-curi pandang dengan gadis itu. Dia benar-benar tidak bisa fokus. Akhirnya, Viktor memutuskan untuk berhenti sejenak, bertopang dagu di atas meja dan masih memperhatikan Rika. Dalam hatinya tiada henti terus mengagumi wajah cantik gadis ini.

'Buat apa Tuhan menciptakan makhluk secantik dia kalau dia enggak bisa jadi milik gue?' batin Viktor.

Di detik selanjutnya Viktor menghela napas, lalu mengalihkan perhatiannya ke lembaran kertas miliknya. Rika berhenti sejenak, dia merasa penat. Rika menyeruput air mineral yang berada di botol tumblernya, sesekali melirik Viktor.

'Ganteng banget ini cowok. Udah ganteng, pintar pula. Enggak heran cowok kayak dia jadi most wanted di sekolah,' batin Rika berbicara.

“Kerjain, jangan liatin gue terus,” celetuk Viktor tanpa menatap Rika, dia masih sibuk menulis penyelesaian di lembaran soal.

'Mampus, ketahuan!' batin Rika kembali berbicara.

“Rika,” panggil Viktor tanpa menatap lawan bicaranya.

“Apa?” jawab Rika yang masih sibuk berkutat dengan lembaran soalnya.

“Lo tau rumus mol kan?”

Rika menghentikan kegiatannya. Lalu, beralih menatap Viktor dengan serius. “Itu rumus buat mengukur suatu zat. Rumusnya, mol sama dengan konsentrasi dikali volume. Gue yakin, itu rumus udah di luar kepala lo.”

“Tau enggak? Rumus itu cocok sama kondisi kita,” Viktor masih tidak menatap Rika.

Rika menaikkan sebelah alisnya. Tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Viktor. “Maksud lo? Apa hubungannya sih?”

Viktor berdeham, lantas menatap lekat-lekat Rika. “Karena untuk mengukur rasa suka gue ke lo itu rumusnya hampir sama kayak rumus mol, yaitu kuatnya rasa suka dikali dengan banyaknya pengorbanan yang dibutuhkan.”

“Jadi, ini yang namanya belajar? Belajar gombal atau belajar buat kompetisi kimia?”

Seseorang datang dengan air muka dingin seraya kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Viktor menoleh ke arah sumber suara. Rika tidak mengira bahwa Rivan akan menyusulnya ke perpustakaan. Rika juga tidak memberitahu secara spesifik kepada Rivan tempat dia dan Viktor akan belajar.

“Lo udah selesai latihan karate, Rivan?” tanya Rika, memecah suasana canggung yang baru saja terjadi.

Rivan mengangguk pelan. “Lo mau balik kapan?”

Rika refleks melihat jam dinding yang berada di perpustakaan. Tak terasa, dua puluh lima menit sudah berlalu.

“Hei, kalian. Cepat keluar, saya mau tutup perpustakaannya,” ucap penjaga perpustakaan yang menghampiri mereka.

Sementara Rika dan Viktor membereskan barang-barang mereka, Rivan sudah pergi ke luar perpustakaan terlebih dulu.

“Lo balik bareng Rivan?” tanya Viktor.

“Iya. Dia udah ngajak balik bareng dari kemarin.”

Viktor tersenyum kecut.

Mereka keluar dari perpustakaan. Kedua netra Viktor bersitatap dengan kedua netra Rivan—terlihat jelas sekali bahwa Rivan tidak menyukai Viktor berada di dekat Rika.

“Rivan, gue ke toilet bentar, ya,” pamit Rika yang kemudian pergi setelah mendapat anggukan dari Rivan.

Kedua kaki Viktor mulai melangkah pergi dari hadapan manusia menjengkelkan itu.

“Jangan harap lo bisa dekat sama Rika ya, bangsat!”

Kedua kaki Viktor refleks berhenti melangkah. Tangan kanannya mengepal, ingin sekali rasanya meninju wajah orang yang sudah berkata demikian kepadanya. Sudut bibir Viktor perlahan tertarik ke atas membentuk smirk. Dia berbalik, menatap jengkel Rivan.

“Lo siapa dan ada hak apa berani bilang kayak gitu, huh?”

“Gue teman kecilnya dia dan gue enggak akan biarin lo dekat sama dia. Paham lo?”

Viktor menaikkan sebelah alisnya. “Foolish. Teman kecil udah kayak pacar. Lagi pula, lo kira gue peduli? Lo laki-laki dan punya otak, 'kan? Daripada ancam gue kayak gitu, kenapa enggak gunain otak lo buat mikir cara bersaing dengan sehat?”

Lalu, Viktor pun pergi meninggalkan Rivan dengan raut wajah kesal setelah mendengar perkataan Viktor.

Bonus pict.