–Before That Fight–

Rika melambaikan tangannya kepada Viktor yang baru saja menyudahi kegiatannya bermain basket. Dia berpamitan dengan teman-temannya dan melipir ke tepi lapangan basket untuk menghampiri Rika. Tanpa Viktor sadari, seseorang melihatnya dengan tatapan tajam.

Hey,” sapa Viktor sembari mendaratkan bokongnya di sebelah Rika.

Rika mengeluarkan dua buah kotak makan dari paper bag yang dibawanya. Viktor melepas seragam kemejanya, lantas menyampirkan kemejanya di pundaknya, tersisa kaus putih polos yang melekat di tubuhnya.

“Lo bawain gue makanan apa?” tanya Viktor penasaran.

“Racun tikus,” ketus Rika.

Viktor memicingkan kedua matanya. “Jangan mulai cari perkara, ya.”

Rika menghela napas pelan. “Ya enggaklah, anjir! Makanannya cuma gue kasih sedikit obat pencahar aja, sih.”

Rika memberikan satu kotak makan kepada Viktor. Dia terdiam sejenak setelah membuka tutup kotak makan tersebut, lalu menatap kotak makan tersebut lamat-lamat. Rika mulai membuka kotak makan miliknya, lantas melirik Viktor yang masih menatap kotak makan yang sudah dibukanya.

Rika tertawa renyah. “Gue bercanda, Vik. Makanannya aman, kok.”

Viktor menggeleng pelan. “Bukan, bukan itu. Uhm..., maksud gue, berarti makanan ini tadinya mau lo kasih ke Rivan, ya?”

Rika tersenyum kecut, lalu mengangguk pelan.

Ah, sudah dia duga. Entah mengapa, rasanya separuh nafsu makan Viktor berkurang. Dia tahu bahwa Rika tidak mungkin memberi makanan kepadanya secara cuma-cuma seperti ini.

Rika yang menyadari perubahan raut wajah Viktor pun menegurnya. “Lo enggak suka menu makanannya, ya?”

Viktor yang larut di dunia lamunannya seketika tertampar ke dunia nyata. “Ah, suka, kok. By the way, thanks, ya.”

Rika tersenyum kecil dan mengangguk. “Bukan apa-apa kok. Lain kali, gue buatin spesial buat lo deh. Emangnya lo suka apa? Biar gue buatin nanti.”

Viktor menyuapkan sesendok nasi goreng beserta lauk-pauk ke dalam mulutnya. “Apwa awjwa ywang lo bwawain gue swuka kwok.”

Rika berdecak kesal. “Kunyah dan telen dulu itu makanan yang ada di mulut, baru ngomong.”

Mulut Viktor yang penuh dengan makanan tersenyum riang.

'Kok dia jadi gemes kayak gini sih, anjir,' batin Rika.

Viktor melambaikan tangannya tepat di wajah Rika. Dia bingung ketika Rika terus menatapnya tanpa berkedip sedikitpun.

“Rika? Hello?”

Rika masih tetap berkecamuk di dunia lamunannya. Viktor tersenyum jahil, dia memberikan thumb kiss—mengecup ibu jarinya dan menempelkannya di pipi kanan Rika. Rika refleks mendelik, lalu memegang pipinya.

“Makanya jangan asyik sendiri sama dunia lamunannya,” tutur Viktor seraya tertawa pelan.

Viktor kembali melanjutkan makannya sambil sesekali bercanda yang terkadang membuat gadis itu terlihat kesal, namun di sisi lain ikut tertawa.

Sementara itu, Rivan yang sedari tadi sudah tampak gerah dengan perlakuan Viktor, akhirnya memutuskan untuk menghampiri Viktor dan Rika.

“Katanya tadi mau ke kelas gue. Kenapa jadi ketemu sama dia?” tanya Rivan sembari menatap tajam ke arah Viktor yang sedang asyik makan.

Dia menyadari kehadiran Rivan, tetapi memilih untuk tidak menggubrisnya.

“Lo ngapain sama dia?” tanya Rivan kepada Viktor.

“Rika, thanks ya, gue suka makanan buatan lo, enak. Besok bawain gue makanan buatan lo lagi ya,” puji Viktor sembari tersenyum simpul. Dia tidak menggubris pertanyaan Rivan.

Rivan pun murka dan mulai meninju Viktor.

BUGH!

BUGH!

Rivan mendorong Viktor hingga terjerembap ke lantai, lalu menghantam wajah Viktor dengan tangannya hingga beberapa kali. Viktor tidak diam begitu saja, dia pun melawan sekuat tenaga.

“Gue ngomong sama lo, bangsat! Lo tuli atau gimana?! Ngapain lo sama dia?! Apa tujuan lo ngedeketin Rika, bangsat?!” geram Rivan.

Beberapa siswa-siswi mulai berkerumun melihat perkelahian antara Rivan dan Viktor di lapangan basket. Tidak ada yang berani memisahkan mereka, terlebih lagi setelah mengetahui bahwa yang bertengkar adalah Rivan dan Viktor. Desas-desus mengenai alasan mereka bertengkar mulai terdengar, mengingat Rivan dan Viktor sebelumnya merupakan teman dekat—tentunya sebelum Viktor berteman dengan Jevan dan yang lainnya.

Beberapa siswa-siswi sibuk mengambil gambar atau video dengan gawai mereka. Sementara itu, Rika terlihat ketakutan, dia berusaha untuk melerai, tetapi berujung dirinya yang terkena pukul oleh Viktor. Viktor yang berniat untuk meminta maaf kepada Rika, malah berujung mendapat pukulan yang membabi buta dari Rivan setelah melihat Rika terkena pukul oleh Viktor.

Tak lama, Jevan, Dimas, dan Ardio. muncul. Jevan menarik Rivan untuk menjauh dari Viktor, sedangkan Ardio membantu Viktor untuk berdiri.

“Lo semua goblok apa gimana sih?! Ada orang berantem bukannya dilerai, malah dijadiin bahan tontonan! Kalian pikir mereka lagi tanding di ring tinju?! Sumpah, lo semua gobloknya murni! Susu sapi kalah murninya sama kegoblokan kalian!” cerca Dimas dengan tatapan nanar hingga mukanya pun memerah karena emosi.

“Bagi yang merekam video or take their picture, delete it right now. I beg you guys. Kalau gue lihat nanti foto atau video mereka tersebar di sosial media manapun, kalian berurusan sama gue di ruang MPK,” tukas Jevan dengan tatapan dingin.

Wibawa Jevan yang notabenenya sebagai ketua MPK terasa menguar dan membuat beberapa siswa-siswi takut. Sebenarnya dia bukan tipe ketua MPK yang galak dan dingin. Bahkan, dia dikenal dengan keramah-tamahan dan murah senyumnya kepada siapapun. Namun, jika sedang serius seperti ini bisa membuat siswa-siswi merasa segan.

Beberapa siswa-siswi yang berhasil mengambil foto atau video mulai menghapus video atau foto yang mereka ambil. Namun, ada juga yang berhasil menyebarkannya di base twitter.

Beberapa siswa-siswi pun mulai bubar. Setelah itu, Dimas menyadari Rika yang sedang duduk ketakutan dengan luka lebam di sudut bibirnya.

“Ini, Rika kenapa? Ada yang bisa jelasin? Dia sudut bibirnya luka lho,” cerocos Dimas sembari berjongkok di samping Rika.

Rika tidak menjawab, tangannya masih terlihat bergemetar.

“Jangan bilang, pas dia mau lerai kalian, tapi malah kena pukul salah satu di antara kalian?” sangka Jevan dengan tatapan mengintimidasi.

Rivan melepaskan dirinya dari Jevan dengan kasar. “Lo tanya aja sendiri sama temen lo yang bego itu.”

Lalu, Rivan menarik Rika pergi meninggalkan Viktor dan yang lainnya. Viktor merasa bersalah dan menatap kepergian Rika dengan tatapan sedih.

“Vik,” tegur Jevan dengan tatapan yang meminta penjelasan kepada Viktor mengenai apa yang terjadi dengan Rika.

“Gue enggak sengaja, Jev, sumpah!” pungkas Viktor.

“Terus, kenapa tiba-tiba begini?” tanya Jevan, lagi.

Viktor berdecak kesal. “Gue cuma membela diri, Jev. Salah gue?”

“Enggak ada yang nyalahin lo di sini. Gue cuma mau lo jelasin, apa penyebabnya dan kenapa tiba-tiba begini?”

“Dia yang cari perkara duluan! Gue lagi makan bareng Rika di sini. Terus dia nyamperin gue dan Rika. Gue enggak tau apa penyebabnya karena dia tiba-tiba mukul gue. Dan ya, apa yang dibilang lo itu benar.”

Clisé. Dia cemburu karena lo dekat sama Rika. Lo tau sendiri 'kan mereka dekat banget sampai dikira pacaran. Sementara itu, lo dan Rika baru dekat belakangan ini, 'kan? Itu pun kalian dekat, karena Bu Jena tunjuk kalian jadi perwakilan sekolah buat ikut kompetisi kimia,” duga Dimas dengan dengkusan kesal.

“Cemburu? Rivan bego. Rika aja enggak suka sama gue,” gerutu Viktor.

Ouch, so sad, Dude,” ucap Dimas dengan dramatis sembari memegang dadanya, pura-pura kesakitan, “lagi pula ya, Rivan mana tau kalau Rika enggak suka sama lo, bego!”

“Pusing gue. Complicated banget kisah percintaan lo,” celetuk Ardio yang sedari tadi terdiam.

Viktor berdecak kesal melihat reaksi Dimas.

“Ya udah, sekarang kita perlu ke ruang kesehatan. Luka lebam lo perlu diobatin sebelum rasa nyerinya makin parah,” saran Ardio.

Viktor setuju dengan saran Ardio. Viktor dan Ardio pun pergi ke ruang kesehatan. Jevan dan Dimas tidak ikut ke ruang kesehatan karena ada urusan yang perlu diurus. Sesampainya di ruang kesehatan, Viktor terdiam sejenak saat kedua matanya menangkap pemandangan yang tak terasa membuat tangannya mengepal.

Ardio melirik kilas Viktor, dia tahu apa yang dilihat Viktor saat ini. Rika sibuk mengobati luka di wajah Rivan.

“Apa perlu gue labrak mereka?” tanya Ardio.

“Lo berani?”

“Enggak.”

“Dasar bego! Ya udah, biar gue aja yang labrak mere—”

“Kak Viktor!” seru seseorang yang baru saja tiba di ruang kesehatan sekolah dengan napas tersengal-sengal, sepertinya dia ke sini berlari dengan tergesa-gesa.

Orang yang baru saja datang dan menghampiri Viktor adalah Elma. Air mukanya terlihat khawatir saat melihat beberapa luka lebam di wajah Viktor. Sementara itu, Ardio bergegas menyiapkan peralatan dan obat untuk mengobati luka lebam Viktor.

“Ya ampun, luka lebam di muka Kak Viktor lumayan banyak. Itu pasti sakit banget ya, Kak?” tanya Elma sembari menyentuh salah satu lebam di wajah Viktor.

Viktor meringis pelan. “Enggak kok. Lagi pula, nanti juga sembuh. Oh, by the way ada perlu apa ke sini?”

“Aku khawatir sama Kak Viktor. Aku dengar tadi Kak Viktor berantem sama Kak Rivan. Benar, Kak?” tanya Elma sembari melirik Rivan yang sesekali melirik sinis Viktor.

“Vik, sini. Gue mau obatin luka lebam lo,” kata Ardio yang sudah menyiapkan obat dan menyuruh Viktor duduk tidak jauh dari tempat Rivan dan Rika.

Viktor tersenyum simpul, lalu mengacak-acak pelan rambut Elma. “Lo enggak perlu khawatir lagi, oke? Sekarang gue baik-baik aja.”

Kemudian Viktor duduk di dekat Ardio. Elma tetap mengikuti Viktor.

“Kak Ardio, biar aku aja yang obatin lukanya Kak Viktor, ya? Please?” pinta Elma.

Ardio melirik Viktor, bermaksud untuk meminta persetujuan dari Viktor. Viktor meresponnya dengan helaan napas dan anggukan pelan.

“Ya udah, hati-hati. Cuci tangan lo dulu sebelum obatin luka lebam Viktor. Gue tinggal dulu, Vik. Ada urusan sama anak-anak fotografi,” ucap Ardio.

Thanks, Ar.”

Sementara Elma mengobati luka lebam di wajah Viktor sembari terus mengoceh, Viktor tidak mendengarkan celotehan Elma. Atensinya justru terfokus dengan Rika yang kini sedang diobati dengan Rivan.

'Gue emang bukan siapa-siapanya dia dan enggak ada hak untuk cemburu. Tapi, hati gue sakit lihat dia berduaan sama Rivan. Duh, tau diri lo Viktor bego,' gumam batin Viktor.

“Kak Viktor?” tegur Elma.

Viktor tidak menggubris. Elma baru sadar bahwa ternyata Viktor sedari tadi terfokus dengan Rika. Elma menghela napas berat, ternyata Viktor sedari tadi mengabaikannya.

“Kak Viktor?” panggil Elma sekali lagi seraya menepuk pundak Viktor.

“Eh, udah selesai, El?”

Elma mengulum senyum simpul. “Kak Viktor suka sama Kak Rika, ya?”

Viktor tertegun mendengarnya. Dia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Lalu, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Emang kenapa?”

“Kentara banget, Kak. Karena dari tadi mata Kak Viktor enggak lepas dari Kak Rika,” jawab Elma seadanya.

Viktor tersenyum getir. “Lo pernah enggak sih, cemburu sama seseorang yang bukan siapa-siapa lo? Bahkan, lo enggak punya hak untuk itu.”

“Pernah dan sekarang lagi mengalami, sih,” jawab Elma sekadarnya sembari menatap Viktor dengan tatapan yang sangat dalam.

Viktor refleks mengalihkan atensinya dari Rika dan menatap Elma dengan penuh tanda tanya. “How it feels, El?”

I'm sure you know how it feels, Kak.”

Ya, it's killing me.

“Kalau gitu, kenapa enggak lepasin dia?”

“Enggak semudah itu, El. Because I love her. She's my first love, by the way.

Pupil mata Elma membesar, terlihat kaget dengan apa yang diucapkan oleh Viktor.

“Dia cinta pertama Kak Viktor?”

Viktor kembali mengalihkan atensinya kepada Rika, lalu berkata dengan tatapan sendu dan senyum simpul di bibirnya, “Ya, she is.”

“Kalau gitu, gue balik ke kelas duluan ya, El. By the way, thanks, ya.”

“Tunggu, Kak,” cegah Elma sembari menahan lengan Viktor.

“Ya?”

Bibir mungil gadis itu terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Namun, rasanya tertahan.

“El? Elma?”

Elma melepaskan tangannya dari lengan Viktor. Lantas, menggeleng pelan. “Nothing.

Viktor berbalik menghadap Elma. “Ada sesuatu yang mau lo omongin?”

“Enggak ada, kok.”

“Lo kalau bohong gue cium, ya?”

“Kak Viktor?!”

“Bercanda, El. Bisa-bisa gue ditonjok sama Dimas,” tutur Viktor yang diakhiri tawa kencang sampai mencuri perhatian orang-orang di sekitarnya.

Rika pun sempat beradu tatap dengan Viktor. Viktor dengan cepat mengalihkan perhatiannya dan merangkul Elma keluar dari ruang kesehatan. Tentunya Elma sangat terkejut dengan perbuatan Viktor. Dia tahu bahwa Viktor sengaja melakukannya karena Rika sedang melihat ke arahnya dan Viktor.

Elma pun melakukan improvisasi—memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

'Rika, maaf,' batin Viktor.

“When you love someone, but it goes to waste. Because she loves someone else.”