🍂 After School 🍂
Kedua netranya melirik kilas arloji hitam di pergelangan tangannya. Jarum jam arloji sudah menunjukkan pukul empat sore. Sudah sekitar lima menit dia berada di ruangan Bu Jena. Bu Jena menyuruh Viktor untuk menunggu di ruangannya karena beliau ada urusan yang harus diselesaikan.
Di sisi lain, Viktor juga berharap cemas menunggu kehadiran partner belajarnya yang belum hadir hingga saat ini. Dia ingin menghubungi orang itu, tetapi sejak kemarin orang itu memblokir nomornya. Sebenarnya bisa saja dia menghubunginya melalui media sosial lain, tapi dia menghargai orang itu yang mungkin membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
Ceklek!
Pintu ruangan Bu Jena terbuka, seseorang masuk ke dalam ruangan. Kepala Viktor menoleh ke arah pintu. Dia mengerjapkan kedua netranya berkali-kali, masih mencerna sosok yang baru saja masuk ke dalam ruangan Bu Jena. Sebenarnya dia sudah menduga bahwa partner belajarnya itu akan segera datang. Tidak mungkin jika dia tidak datang. Karena dia tipikal orang yang sangat semangat sedari awal Bu Jena menunjuknya sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti kompetisi kimia.
Perempuan itu terlihat kerepotan saat membawa sebuah map yang berisi lembaran-lembaran kertas dan satu buah buku binder tebal di tangannya. Bahkan, dia hampir saja terjatuh—memang sangat rusuh sekali. Viktor tidak menghiraukan dan kembali pada posisi semula, menghadap ke arah depan dan memainkan sebuah pulpen yang ada di tangannya.
“Kok enggak bilang gue sih kalau lo udah ada di ruangannya Bu Jena? Gue nyari lo dari tadi tau,” gerutu Rika sembari mendaratkan bokongnya ke kursi yang berada di samping Viktor.
Viktor tidak menjawab.
Rika refleks mendera Viktor dengan map yang ada di tangannya. Viktor tidak bisa menghindar dan hanya meringis pelan.
“Viktor!”
Viktor menoleh sejenak. Dia menaikkan sebelah alisnya. “Apa?”
“Ish! Lo ngeselin banget, sumpah!”
Rika teringat sesuatu bahwa dia masih memblokir nomor Viktor. Lantas, dia membuka ponselnya untuk membuka blokirannya dari nomor Viktor. Sementara itu, Viktor terlihat sibuk dengan isi kepalanya.
“Nih, gue udah buka blokirannya,” tutur Rika sembari menunjukkan layar ponselnya kepada Viktor.
Viktor menyunggingkan senyum hampa. “Terus, kapan lo bisa buka hati buat gue?”
Suaranya terdengar seperti berbisik. Namun, suasana hening dan senyap membuat Rika bisa mendengar suara Viktor dengan jelas. Rika menoleh ke arah Viktor, dia refleks memalingkan wajahnya dan sibuk merutuk dalam hati tentang apa yang baru saja diucapkannya.
“Baru satu hari kita enggak ketemu, tapi lo udah aneh kayak gini, Vik,” ungkap Rika.
Viktor berdecak kesal. “Iya, ini semua gara-gara lo.”
Rika refleks mendelik. “Kok lo jadi salahin gue?! Lo aja yang aneh!”
Saat Viktor ingin membuka mulutnya untuk membalas perkataan Rika, pintu ruangan Bu Jena kembali terbuka. Viktor kembali menutup mulutnya.
“Oh, kalian sudah datang. Maaf saya tadi ada urusan sebentar,” tutur Bu Jena sembari berjalan menuju kursinya.
Konsultasi materi dan evaluasi belajar mengenai kompetisi kimia pun dimulai selama satu jam ke depan.
Satu jam berlalu. Setelah proses brainstorm, debat kecil, dan diskusi, akhirnya mereka selesai berkonsultasi dengan Bu Jena mengenai materi kompetisi kimia. Rika dan Viktor berpamitan dengan Bu Jena dan bergegas keluar dari ruangan Bu Jena.
Sepanjang menelusuri koridor sekolah, suasana lengang menyergap kedua manusia itu. Viktor sibuk dengan isi kepalanya, memikirkan topik pembicaraan yang tepat untuk memulai obrolan. Sedangkan Rika, sibuk memikirkan cara yang tepat untuk memecah suasana seperti ini. Karena perempuan itu sangat membenci suasana canggung dan sepi seperti ini.
“By the way, ini kertas materi isinya teori buat kompetisi kimia yang gue udah ringkas. Lo baca dan pahami baik-baik, di sini juga ada beberapa tips dan tricks penyelesaian soal-soal yang sulit, lebih ringkas daripada yang sebelumnya pernah gue kasih ke lo,” tutur Viktor tiba-tiba sembari memberikan tumpukan kertas dengan paper clip di sudut atas kertas tersebut.
Rika terdiam dan tidak langsung menerima tumpukan kertas tersebut. Viktor pun terlihat bingung, biasanya gadis ini terlihat girang dan semangat saat mendapat kertas yang berkaitan dengan kompetisi kimia. Tetapi, ini berbanding terbalik sekali. Air muka gadis itu justru terlihat datar.
“Itu semua lo yang bikin?” tanya Rika.
Viktor mengangguk pelan. “Kemarin pas lo udah balik bareng Rivan, Bu Jena panggil gue ke ruangannya. Beliau bilang, ada beberapa tambahan materi teori buat kompetisi kimia nanti, dia kasih ke gue lembaran tentang materi tambahannya. Isinya itu pake bahasa yang lumayan sulit dimengerti, jadi malamnya gue ringkas lagi dan gue bikin bahasanya lebih mudah dimengerti. Karena kalau enggak kayak gitu, gue tau lo bakalan marah-marah karena bahasanya bakalan susah dipahami.”
Rika menghentikan langkahnya sejenak. Laki-laki yang mempunyai tubuh lebih tinggi darinya itu refleks ikut menghentikan langkahnya.
“Lo pasti kesulitan, ya?” tanya Rika.
Viktor menaikkan kedua alisnya dengan bingung. Lalu, dia tersenyum manis. “Enggak kok. Lo enggak perlu khawatir.”
Rika tiba-tiba memeluk Viktor, pelukannya begitu hangat dan terasa sangat nyaman. Gadis itu menepuk-nepuk pelan pundak Viktor. “Maaf ya, gue enggak bisa jadi partner belajar yang baik buat lo. Kemarin gue juga sempat marahin lo dan bilang lo egois. Padahal, lo emang capek. Lo selalu aja cari cara supaya gue bisa belajar dengan cara yang mudah. Lo selalu mastiin gue bisa paham semua materi dengan baik sampe lo harus bikin ringkasan kayak gini. Seharusnya gue sendiri yang berusaha lebih keras lagi, karena kompetisi ini kan keinginan gue juga.”
Viktor benar-benar terpaku. Jauh di lubuk hatinya, dia ingin menangis sekencang mungkin di dekapan gadis itu. Benar, dia sangat lelah sekali akhir-akhir ini. Dia juga rindu sekali dengan pelukan hangat yang sudah lama tidak dia rasakan. Tidak pernah ada lagi pelukan hangat sejak Papa dan Mamanya memutuskan untuk berpisah. Semua orang di rumahnya sibuk dengan urusan masing-masing dan kehangatan tak pernah lagi menjamah rumahnya.
Viktor memejamkan kedua matanya sejenak dan menggigit bibir bawah bagian dalam. Lantas, menghela napas berat. Kedua tangannya yang ingin mendekap gadis itu seketika terlihat ragu saat mengingat fakta bahwa gadis itu menyukai laki-laki lain, dia membatalkan niatnya untuk membalas pelukan Rika.
Rika melepas pelukannya dari Viktor. “Gue minta maaf, ya, Vik.”
“No, it's nothing, pwetty. Gue bantu lo juga karena kan lo partner belajar gue. We are a team and the team must work together. Lo juga udah menjadi partner belajar yang baik buat gue dan lo juga udah berusaha sangat keras. Maka dari itu, gue berterima kasih sama lo. Terima kasih karena udah bekerja keras selama beberapa waktu belakangan ini. Gue senang bisa jadi partner belajar lo,” ungkap Viktor diakhiri senyum simpul.
“Jadi, ambil ringkasan yang udah gue bikin ini. Pelajari dan pahami lagi, karena waktu kita tinggal sedikit lagi,” imbuh Viktor sembari meraih tangan Rika untuk mengambil tumpukan kertas dari Viktor.
Rika mengambil kertas yang diberikan oleh Viktor. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju gerbang sekolah. Tak lama, mereka sampai di gerbang sekolah.
“Rika, setelah kompetisi kimia selesai, kita masih bisa berteman kayak biasa, 'kan?” tanya Viktor.
Rika tertawa mendengar pertanyaan bodoh dari Viktor. Viktor terlihat bingung karena merasa tidak ada yang lucu dengan pertanyaannya.
“Kok malah ketawa?”
“Pertanyaan lo lucu banget sih. Lagi pula, kenapa tiba-tiba nanya gitu?”
“Gue takut. Gue takut setelah ini lo jauh dari gue. Walaupun sebenarnya gue enggak akan pernah bisa dekat sama lo.”
“Uhm..., maksud lo?”
“Lupain aja,” tukas Viktor yang kemudian berjalan kembali menuju halte bus.
“Kenapa? Ih, gue penasaran tau,” tanya Rika sembari berlari kecil menyusul Viktor.
“Lo percaya enggak, sebenarnya ada cowok yang suka sama lo.”
“Suka? Dalam artian apa?”
“Ya..., pokoknya dia suka sama lo. He really loves you, Rik.”
Rika tertawa pelan. “Siapapun orangnya, dia aneh. Ayolah, banyak banget woi cewek cantik di sekolah kita. Lagi pula, dari sekian banyak cewek cantik di sekolah kita, kenapa dia harus suka sama gue?”
“Gue enggak tau. Mungkin aja dia suka sama lo bukan karena fisik. But, he loves everything about you, Rik. He loves you the way you are. Lo masih anggap dia aneh juga?”
Rika terdiam. “Rasanya agak enggak mungkin aja gitu, Vik.”
“Kenapa bilang kayak gitu? Enggak ada yang enggak mungkin di dunia ini selama Tuhan berkehendak.”
“Lagian, lo tau dari mana kalau ada cowok yang suka sama gue?”
“Ada deh,” Viktor mengambil jeda sejenak, “lo juga lagi suka sama orang, kan?”
Rika menoleh cepat ke arah Viktor, kedua matanya yang bulat mendelik. “Lo kok tau?”
“Gue kan cenayang.”
“Lo mau gue gebuk?”
“Lo mau gue cium?”
“Viktor, ah! Serius gue!”
“Bercanda, gue enggak berani cium-cium anak orang.”
“Lo tau dari mana gue lagi suka sama orang?”
“Waktu gue belajar bareng di rumah lo, lo sempat ketiduran dan meracau enggak jelas. Lo bilang kalau lo suka sama Tama.”
“Anjir! Serius gue meracau kayak gitu?!”
Viktor mengangguk pelan. “Serius.”
“Tapi, emangnya lo tau siapa Tama?”
Viktor nenyunggingkan senyum kecut. “Apa sih yang gue enggak tau?”
“Sombong banget sih, anjir!”
“Rivan, kan?”
“Huh?”
“Lo suka sama dia.”
“Vik, jangan bocor ya, please?
Viktor menyunggingkan senyum kecutnya. “Sorry, I can't promise, pwetty.“
“Vik, please?” pinta Rika sembari memasang puppy face.
“Maaf, gue enggak mempan sama puppy face lo.”
“Gue beliin es krim deh.”
“Cih! Lo kira gue anak kecil yang bisa disogok pake es krim?”
“Terus gue harus apa dong?” tanya Rika dengan helaan napas putus asa.
“Lo cuma harus bersikap lebih lembut lagi ke gue. Pokoknya enggak boleh marah-marah sama gue. Gimana?”
“Itu doang?”
“Selesai kompetisi kimia nanti, gue bakalan aktif basket lagi. Nah, lo harus temenin gue setiap gue latihan basket.”
“Lo memanfaatkan gue ya?!”
“Terima atau bocor?”
Rika berdecak kesal. “Ya udah deh, iya. Puas lo?”
Viktor tersenyum menang. Lalu, mengacak-acak pelan rambut Rika.