🍃 Quality Time 🍃

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Viktor memarkirkan motornya di tempat parkir yang tersedia di basemen gedung mall. Setelah Rika turun dari motor Viktor, dia menunggu Viktor memarkirkan motornya. Rika berniat ingin berjalan setelah Viktor memarkirkan motornya.

“Rika, tunggu dulu!”

Rika seketika menoleh ke belakang dan menatap Viktor dengan bingung. “Kenapa?”

“Lo enggak mungkin kan ke dalam bioskop pakai helm? Sini, helmnya dilepas dulu ya, pwetty,” tutur Viktor seraya tertawa pelan, lalu membantu Rika untuk melepaskan helm dari kepala Rika.

Rika terpaku saat Viktor melepaskan helmnya.

Okay, done,” Viktor melepaskan helm dari kepala Rika dan sedikit merapikan rambut gadis itu, “nah, kalau helmnya dilepas kan jadi kelihatan cantiknya.”

Rika mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, masih tidak menyangka dengan perlakuan laki-laki menyebalkan ini.

Hey! Ayo, kok malah melamun sih? Nanti kesambet setan lho,” celetuk Viktor sembari berjalan mendahului Rika.

Rika pun menyusul Viktor. Setelah mereka masuk ke dalam mall, Viktor mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam mulai film yang akan ditontonnya.

“Ayo, pwetty! Dua menit lagi filmnya dimulai!” tutur Viktor.

“Dua menit lagi?! Gila—”

Viktor langsung menarik lengan Rika dan berlari menuju lift. Letak bioskop di mall berada di lantai tiga. Sesampainya di depan lift, Viktor menekan tombol lift. Tak butuh waktu lama, pintu lift terbuka. Mereka bergegas memasuki lift. Suasana awkward menyelimuti mereka saat berada di dalam lift.

“Vik, lo kan ngajak gue nonton, tapi sampai sekarang gue belum tau film apa yang mau kita tonton,” kata Rika yang memecah keheningan. Dalam hati dia berharap cemas tentang film yang akan ditonton nanti bukanlah film bergenre horor.

“Tenang aja, bukan film horor kok.”

Rika menghela napas lega. “Syukur deh.”

Viktor menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa? Lo takut, ya?”

“Enggak kok!” elak Rika.

Viktor menyeringai, dia tahu bahwa Rika sedang berbohong. Tak lama, akhirnya mereka sampai di lantai tiga gedung mall. Kedua mata Viktor menelusuri tempat bioskop yang tidak jauh dari tempat lift berada. Mereka pun mulai masuk ke dalam bioskop setelah menunjukkan tiket bioskop. Saat mereka masuk, bertepatan sekali film dimulai. Viktor dan Rika mencari tempat duduk yang tertera di tiket miliknya dan Rika. Mereka menempati tempat duduk di bagian tengah.

Baru permulaan, Rika sudah dikejutkan dengan adegan awal di film. Dia benar-benar terkejut bukan main saat ada adegan sebuah binatang ditabrak oleh sebuah mobil pick up. Viktor juga ikut terkejut, namun bukan karena adegan di film tersebut. Dia justru terkejut dengan reaksi Rika.

“Vik, kasih tau gue genre film apa yang kita tonton,” bisik Rika dengan tatapan tajam.

Mystery or thriller and science fiction, singkatnya sih ini tentang zombie. Gue jamin ini seru, karena gue udah nonton trailer-nya dan emang film ini paling gue tunggu-tunggu keluar di bioskop sih,” jelas Viktor.

Rika spontan meninju pelan lengan Viktor. “Lo kenapa enggak bilang?!”

“Itu gue udah bilang, 'kan? Kenapa sih? Lo takut? Filmnya enggak ada unsur horornya kok. So, chill, okay?”

Rika menggerutu dalam hati. Sejujurnya bukan hanya film bergenre horor saja yang dia hindari, begitu juga dengan film yang mengandung unsur zombie. Pasalnya, dia mudah terkejut dan mudah berteriak.

Sudah beberapa kali Rika terkejut dan menjadi pusat perhatian penonton bioskop lainnya. Tidak jarang Rika tanpa sadar meremas lengan Viktor.

“Vik, filmnya seru. Tapi, gue capek dari tadi kaget mulu,” keluh Rika sembari meremas tangannya sendiri.

Viktor mengalihkan perhatiannya dari layar bioskop. Dia menatap lekat-lekat Rika, dia meraih tangan Rika dan agak terkejut ketika tangan Rika terasa sangat dingin—entah dingin karena pengaruh dari pendingin ruangan atau Rika yang benar-benar lelah karena mudah terkejut. Viktor mulai terlihat khawatir dengan Rika.

“Tangan lo dingin banget, Rika. Lo mau udahan aja nontonnya? Kalau iya, kita udahan aja enggak apa-apa kok,” tutur Viktor tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Rika.

Rika menggeleng pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar bioskop. “Santai, gue enggak apa-apa kok. Ini pendingin ruangannya aja yang emang terlalu dingin. Gue masih sanggup nonton filmnya, kok.”

Viktor berdecak kesal. Sungguh menyebalkan, Rika tidak ingin terlihat lemah di depannya. Viktor melepas hoodie abu-abu yang dipakainya. Lalu, dia memberikannya kepada Rika.

“Pakai hoodie-nya,” titah Viktor sembari menyodorkan hoodie miliknya

Rika menoleh sejenak. “Nanti dulu, itu filmnya—AAAA!!!”

Rika spontan berteriak dan memeluk lengan Viktor ketika sesosok zombie muncul dan menyerang salah satu pemain film ditambah lagi dengan backsound film yang terdengar begitu menggelegar. Viktor terpaku saat Rika benar-benar memeluk lengan Viktor dengan sangat erat. Rika baru tersadar akan perbuatannya setelah dirinya mencium aroma cokelat dari kaus hitam polos yang dikenakan Viktor.

“Ma–maaf,” ucap Rika seraya langsung melepaskan pelukannya.

It's okay. Gue tau lo kedinginan, pakai dulu hoodie-nya.”

“Enggak usah—”

“Rika, pake hoodie-nya sekarang,” tukas Viktor.

Bibir Rika terlihat maju beberapa senti, terlihat kesal dengan Viktor yang terus memaksanya. Dia pun memakai hoodie Viktor yang terlihat oversize saat dipakai dengannya. Padahal, hoodie tersebut pas di tubuh Viktor.

'Aduh, anjir! Kenapa dia jadi kelihatan gemes banget, sih? Bikin repot perasaan gue aja,' gumam batin Viktor.

Beberapa kali Rika kembali kaget dan memeluk Viktor. Sedangkan Viktor terlihat tidak bisa fokus dengan film yang ditontonnya akibat ulah Rika. Jantungnya pun berdegup kencang tak terkendali.

Sekitar satu jam setengah film pun selesai. Rika menghela napas lega, namun kedua matanya terlihat basah. Viktor terlihat bingung saat melihat kedua mata Rika yang tampak basah.

“Eh, lo nangis? Kenapa? Aduh, lo nangis karena lapar ya? Atau—”

Belum sempat Viktor menyelesaikan ucapannya, Rika meninju pelan lengan Viktor. “Lo tadi enggak lihat ending filmnya? Kenapa ending-nya sedih kayak gitu? Kenapa bapaknya digigit zombie? Padahal, harusnya dia sama anaknya selamat.”

“Aduh aduh, tayang tayang. Sini, sini peluk dulu. Aduh jangan sedih dong,” ucap Viktor sembari merentangkan tangannya dan berniat untuk memeluk Rika.

Rika spontan menepisnya. “Apaan sih?! Lo malah jadi modus! Kesel banget gue hari ini. Mood gue jadi kacau gara-gara lo ajak nonton film ini.”

Viktor mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Kini, dia merasa bersalah.

“Gue minta maaf deh, gara-gara gue mood lo jadi kacau. Lain kali, gue ajak lo nonton film yang bukan genre mystery thriller, horror, apalagi yang ada unsur zombie kayak tadi,” ucap Viktor.

Rika menghela napas pendek. “Gue enggak bermaksud salahin lo. Gue juga salah karena enggak tanya dulu ke lo film yang mau ditonton. Gue juga kebawa emosi aja, bisa-bisanya ending filmnya malah sad.”

Viktor berdiri dari tempat duduknya. “Ya udah, daripada sedih-sedih, mendingan kita makan.”

Rika menggeleng pelan. “Gue nggak nafsu makan.”

Bibir Viktor melengkung ke bawah. “Kenapa?”

Rika tetap menggeleng pelan. Dia memutuskan untuk keluar dari bioskop, disusul Viktor yang membelakanginya.

“Vik, gue mau ke toilet sebentar, ya,” pamit Rika.

“Perlu gue anter?”

“Enggak usah, nanti ketemu di depan pintu keluar mall aja.”

“Lho? Kita mau langsung pulang?”

“Iya. Emang kenapa?”

“Uhm..., enggak apa-apa sih. Ya udah, gue tunggu di pintu keluar mall ya.”

Rika pun menuju ke toilet untuk sekadar buang air kecil. Sekitar lima menit, akhirnya dia menyelesaikan urusannya di toilet. Lalu, bergegas menuju pintu keluar mall.

Sesampainya di depan pintu keluar mall, dia tidak menemukan Viktor di sana. Kedua matanya berkelana ke arah sekitar, tidak ada tanda-tanda kehadiran Viktor. Dia memutuskan untuk menelepon Viktor. Beberapa kali mencoba menghubungi ponsel Viktor, tetapi ponsel Viktor tidak aktif. Hal itu membuat Rika sedikit jengkel. Sekitar sepuluh menit Rika menunggu kedatangan Viktor.

“Dia ke mana sih? Kan gue minta dia tungguin di depan pintu keluar. Tapi, malah enggak ada.”

Hey, pwetty!” sapa seseorang di belakangnya yang membuat Rika terkejut.

Viktor datang sembari membawa sebuah paper bag yang berisi makanan cepat saji, satu ice cream cone, satu cotton candy, dan satu boneka beruang berukuran sedang. Rika mengerjapkan kedua matanya berkali-kali melihat kehadiran Viktor yang membawa banyak barang seperti ini.

“Lo ke mana aja sih?! Gue nungguin lo di sini tau! Tiba-tiba muncul bawa barang banyak banget!”

“Maaf ya lo jadi nunggu lama deh. Tadi gue kelamaan nyari tempat cotton candy susah banget. Ini semuanya buat lo,” ucap Viktor sembari memberikan barang-barang tersebut kepada Rika secara satu per satu.

“Vik, tapi ngapain segala beliin gue ini semua?”

“Anggap aja, ini permintaan maaf gue karena udah bikin mood lo kacau. Sekaligus buat penghilang rasa sedih gara-gara filmnya sad ending. Terima, ya, pwease?” pinta Viktor.

“Tapi, ini berlebihan, Vik. Lo enggak perlu sampe segininya juga.”

“Rika, pwease?” sekali lagi pinta Viktor sembari menampilkan puppy face-nya.

'Gila ya ini cowok. Kenapa ekspresinya bikin gemes gini sih? Gue kan jadi enggak tega nolaknya,' gerutu batin Rika.

Rika menghela napas pendek. “Ya udah, iya. Gue terima, jadi behenti nampilin muka melas lo itu.”

Air muka Viktor kembali terlihat ceria bak matahari yang baru terbit di ufuk timur. “Yeay! Gitu dong, gue kan jadi senang.”

“Thanks ya, Vik.”

My pleasure, pwetty! Buruan makan ice cream-nya, nanti keburu mencair.”

To be Continued