🥀 The Night Sky Looks Sad 🥀
Langit malam terlihat sendu, rembulan menyembul malu di balik awan-awan tipis. Dia sudah sampai di depan sebuah tempat di mana pacarnya berada. Lalu-lalang orang terlihat di pintu masuk tempat ini. Sudah sekitar sepuluh menit dia berada di luar setelah turun dari ojek online.
Berbekal nekat dan rasa yang bercampur aduk memenuhi dadanya, dia ke tempat ini seorang diri. Awalnya dia ingin meminta ketiga teman dekatnya untuk menemaninya. Tetapi, mereka tidak bisa. Terbesit di pikirannya untuk meminta Viktor menemaninya, tapi dia merasa sudah terlalu banyak merepotkan Viktor akhir-akhir ini. Jadi, kali ini dia lebih memilih untuk menghadapinya sendiri.
Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kedua tangannya terasa dingin, jantungnya berdegup kencang—gugup bukan karena akan bertemu dengan pacarnya, melainkan dia khawatir dengan apa yang akan dihadapinya nanti.
Kedua kakinya melangkah memasuki tempat berbau minuman beralkohol itu. Oh, dia sangat membenci tempat ini. Suara musik menggema ke seluruh ruangan dengan volume yang sangat keras, mengisi lorong telinga gadis itu. Benar-benar dia ingin segera keluar dari tempat ini. Tempat ini membuat telinganya sakit.
Kedua matanya menyapu ke sekitar ruangan. Dia tidak menemukan siapapun. Dia menerobos gerombolan orang yang sedang asyik menari dengan iringan musik yang memekakan telinga. Kedua matanya menemukan meja bar dengan beberapa barista yang sibuk melayani pengunjung.
Rika tidak menemukan pacarnya di sana. Lalu, dia kembali menelusuri ruangan lain di tempat ini. Dia memasuki ruangan yang tidak terlalu ramai dari ruangan sebelumnya. Kedua netranya menyipit saat melihat cahaya kerlap-kerlip yang berasal dari lampu disko di ruangan ini. Dia berusaha untuk masuk ke ruangan itu lebih dalam lagi. Kedua netranya menangkap sesuatu yang menarik atensinya.
Jantungnya mencelos, kedua netranya memanas dan berair, dadanya terasa sesak bak dihantam beban ratusan kilogram. Kedua kakinya yang terasa lemas berusaha untuk menghampiri sesuatu yang dilihatnya itu.
Dia, sosok laki-laki yang sedari tadi dicarinya sedang bercumbu dengan seorang perempuan. Pemandangan yang membuat hatinya pilu sekaligus geram. Dia menarik perempuan itu dari dekapan Rivan. Sontak, kedua manusia itu terkejut bukan main saat melihat kehadiran Rika. Aroma menyengat alkohol membalut kedua manusia itu dan menusuk indra penciuman gadis itu.
PLAK!
Tanpa ada sepatah kata yang terlontar, Rika mendaratkan tamparan ke pipi kanan Rivan. Rivan terkejut melihat perbuatan Rika terhadap dirinya.
“Lo jahat, ya, Van. Setelah semua yang udah gue lakuin buat lo, ini balasan lo ke gue? Gue kecewa banget sama lo, Van. Kita sampe sini aja, ya? Gue udah enggak sanggup lagi, Van,” tutur Rika dengan suara gemetarnya. Dia berusaha untuk tidak menangis, walaupun sudah jelas kedua matanya berair dan sebentar lagi air matanya turun deras melalui pelupuk matanya.
Kedua kaki Rika balik kanan meninggalkan kedua manusia laknat itu. Tentu saja Rika tidak ingin mendengar segudang alasan mengenai omong kosong laki-laki itu. Sementara itu, Rivan tidak diam saja melihat Rika pergi dan memilih untuk menyusul Rika dengan sisa tenaganya. Kepalanya yang terasa pusing dan kesadarannya yang mulai berkurang membuatnya menabrak beberapa orang di hadapannya saat sedang berjalan.
Rika masih terus berusaha keluar dari ruangan ini dengan air mata yang terurai dan isak tangis yang tertahan. Begitu sampai di luar, dia menepi di tempat parkir dan menumpahkan seluruh tangisnya di sana.
Rivan yang berjalan terhuyung-huyung berhasil menemui Rika di tempat parkir. Rika berusaha menjaga jarak dengan laki-laki itu.
“Rika, ini enggak kayak yang kamu pikirin—”
“Apa?! Apa lagi, Van?! Lo enggak lebih dari sekadar manusia jahat buat gue! Lo tega hancurin semuanya! Gue berusaha mati-matian buat enggak berpikiran buruk tentang lo akhir-akhir ini! Tapi, sekarang lo malah mewujudkan semua pikiran buruk gue tentang lo itu jadi nyata! Lo berengsek, Van!” geram Rika dengan kedua pipinya yang sudah basah.
Rivan tidak tahan dengan rasa pusing di kepalanya. Dia terjatuh dan memuntahkan isi perutnya. Rika ingin menampar Rivan sekali lagi. Tetapi, dia tidak tega melihat keadaan laki-laki ini.
“Rika—”
“Diem!” bentak Rika, dia mengambil beberapa helai tisu untuk mengelap mulut Rivan—bayangan kejadian tadi masih menghantuinya saat melihat bibir tipis laki-laki itu. Dengan rasa kesal yang membuncah dia mengelap bibir laki-laki itu.
Tiba-tiba, Rivan memeluk Rika dengan sangat erat.
“Aku sayang sama kamu. Don't leave me, baby, please. I can't imagine how ruined my life would be without you. Please, don't leave,” racau Rivan.
Rika mendorong Rivan. Dia tidak pernah percaya dengan perkataan seseorang yang sedang mabuk seperti ini. Setelah Rika melepas pelukannya, Rivan malah meraih tangan Rika.
“Rika, aku enggak mau putus. I'm begging you, honey, Ini semua cuma salah paham,” tutur Rivan.
Rika melepaskan tangan Rivan dan meletakannya di atas paha Rivan.
“Maaf, gue udah kecewa banget sama lo, Van. Gue udah enggak sanggup dan enggak bisa lagi. Kita sampe sini aja, okay?”
“No, please—”
Rika menyeka air mata di pipinya yang kembali mengalir. Kemudian, dia sibuk menyentuh layar ponselnya, memesan taksi online untuk membawa Rivan pulang. Tak butuh waktu lama, taksi pun datang. Rika menitipkan Rivan kepada sopir taksi online tersebut.
Saat Rika memapah Rivan untuk masuk ke dalam mobil dibantu dengan sopir tersebut. Saat Rika memutuskan untuk keluar dari mobil, Rivan kembali menahan lengannya.
“Kamu enggak ikut pulang? Ayo, kita pulang, sayang. Besok kita kan mau date. Udah lama kita enggak quality time bareng. Ayo, kita pulang,” racau Rivan.
Rika melepas lengannya dari tangan Rivan dan segera keluar dari mobil. Lantas, menutup pintu mobil.
“Pak, tolong antar dia sesuai alamat ya,” ucap Rika.
“Oh iya, Mbak. Maaf, Mbak enggak ikut Masnya pulang juga?”
“Oh, enggak, Pak. Saya masih ada urusan. Kalau gitu, makasih banyak ya, Pak.”
“Oke, sama-sama, Mbak.”
Mobil yang ada di hadapan Rika pun pergi. Tersisa Rika sendiri dengan langit malam yang ikut merasakan kesedihannya. Rika kembali menangis. Kepalanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi setelah ini.
Bagaimana dia hidup tanpa teman kecil sekaligus pacarnya itu?
Dia sudah lama sekali kenal dengan laki-laki itu dan melalui segala hal bersama-sama. Lalu, sekarang hubungannya hancur tak tersisa hanya dalam kurun waktu yang sangat singkat. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Rivan. Setega itu dia dengan dirinya? Sakit dan menyesakkan sekali rasanya mengingat kejadian tadi.
Dia memutuskan untuk berjalan entah ke mana. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya. Dia merutuki dirinya yang hanya memakai cardigan tipis, seharusnya tadi dia memakai hoodie saja.
Kedua kakinya membawa dirinya ke sebuah toserba tempat di mana salah satu teman dekatnya, Alkana, bekerja part-time. Namun, saat ini Alkana sedang tidak masuk bekerja. Rika memutuskan untuk membeli satu botol minuman beralkohol yang berasal dari negara ginseng dan beberapa camilan. Lalu, dia memutuskan untuk duduk di tempat duduk yang tersedia di depan toserba.
Ponselnya yang berdering hingga beberapa kali tidak dihiraukannya. Dia menatap sebotol minuman beralkohol yang ada di hadapannya sekarang. Sebelumnya dia tidak pernah meminum minuman beralkohol dan ini untuk pertama kalinya dia membeli minuman seperti ini. Ponsel yang dia letakkan di atas meja terus berdering. Dia melirik kilas layar ponselnya, menatap Id caller yang tertera. Panggilan masuk tersebut ternyata dari Viktor.
Beberapa pesan singkat juga ikut membanjiri notifikasi ponselnya. Dia membaca pesan masuk yang tidak lain adalah dari Viktor. Pesan singkat tersebut berisi tentang kekhawatiran Viktor mengenai keberadaannya.
Dia tertawa hampa. Betapa lucunya laki-laki ini. Kenapa dia begitu mengkhawatirkannya? Viktor dan Rika hanyalah sekadar teman satu kampus dan satu fakultas saja. Bukan sahabat, pacar, atau teman kecil seperti Rivan. Namun, Viktor selalu ada dan siap saat dia membutuhkan bantuannya.
Rika tidak tahu mengapa laki-laki ini begitu baik dengannya. Padahal, Rika sudah sering sekali merepotkannya dan membuatnya kesal.
Apakah laki-laki itu masih menyukainya? Bahkan hingga saat ini? Sekalipun Rika sudah pernah menolaknya? Entahlah, dia tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mengelilingi kepalanya.
Akhirnya Rika memutuskan untuk membalas pesan singkat dari Viktor. Awalnya, Rika tidak ingin memberitahu mengenai keberadannya kepada Viktor. Namun, Viktor sangat memaksanya dan Rika juga butuh teman untuk sekadar menemaninya saat ini. Air matanya kembali turun saat menjelaskan keberadaannya saat ini kepada Viktor melalui pesan singkat.
Sekitar dua puluh menit, Viktor sampai dengan motor ninja birunya. Dia memarkirkan motornya dan langsung menghampiri Rika. Betapa terkejutnya Viktor saat melihat Rika mulai menuangkan minuman beralkohol itu ke dalam gelas.
Saat Rika selesai menuang minuman tersebut, Viktor segera duduk di hadapan Rika dan mengambil gelas tersebut, lantas meneguknya. Rika terperangah dengan kehadiran Viktor sekaligus mendapat tatapan tajam darinya.
Viktor mengernyitkan dahinya saat meneguk minuman beralkohol tersebut. Viktor sudah lama sekali berhenti meminum minuman beralkohol seperti ini.
“Lo dateng-dateng nyebelin banget deh! Itu kan buat gue! Kenapa lo minum?!” gerutu Rika.
Viktor tidak menanggapi perkataan Rika. Dia mengambil botol minuman tersebut dan menuang seluruh air minuman tersebut ke saluran air yang tidak jauh dari tempat mereka duduk. Rahang bawah Rika terjatuh ke bawah—terkejut dengan perbuatan Viktor. Setelah membuang isi botol dan membuang botol tersebut ke tempat sampah, Viktor kembali duduk di hadapan Rika.
“LO KOK MALAH BUANG MINUMANNYA SIH?! LO NGESELIN BANGET, ANJIR! PERGI LO SANA!” murka Rika dengan napas yang terengah-engah.
Viktor menatap Rika dengan tatapan datar. Lalu mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. “Udah marah-marahnya?”
Rika berdecak kesal. Air matanya tiba-tiba kembali turun, tentunya masih dengan air mukanya yang kesal. Gadis itu berkali-kali mengusap pipinya yang basah akibat air mata yang terus mengalir tiada henti.
Viktor menghela napas pelan. Dia menarik kursinya mendekati Rika. Lalu, Viktor menarik Rika masuk ke dalam dekapannya.
“Rivan..., Rivan jahat, Vik. Rivan berengsek, gue kurang apa sih? Kenapa dia selingkuhin gue?” racau Rika yang tangisnya pecah dan terdengar kencang.
Viktor mengusap-usap lembut pundak dan puncak kepala Rika. Sakit sekali rasanya melihat perempuan yang disukainya menangis seperti ini.
'Seharusnya gue yang jadi pacar lo, Rika. Seharusnya gue, bukan Rivan. Sakit banget gue liat lo kayak gini. Rivan bajingan, gue bikin bonyok lo besok,' gumam batin Viktor.
“Ssshh..., you are enough, pwetty. Lo enggak kurang, tapi dianya yang enggak bisa bersyukur dan enggak bisa menghargai lo sebagai ceweknya. Dia selingkuh bukan berarti bahwa lo itu kurang. Enggak, Rika. Enggak sama sekali. Lo cukup, setidaknya buat gue,” tutur Viktor.
“Terus, kenapa dia selingkuh?”
“Ya kayak yang tadi gue bilang, dia enggak bisa menghargai lo sebagai ceweknya dan kurang bersyukur. Dan emang dasarnya aja dia bajingan. You don't deserve him, pwetty. Air mata lo terlalu berharga buat nangisin seonggok manusia laknat kayak dia. Udah ya, berhenti nangisnya, you deserve someone better than him. Gue sakit liat lo nangis kayak gini, Rika.”
Rika melepaskan diri dari Viktor dan menatap Viktor. “Kenapa?”
Viktor menaikkan kedua alisnya dengan bingung. “Kenapa apanya?”
“Kenapa lo baik banget sama gue?”
Viktor terdiam. Pertanyaan itu tidak akan pernah bisa dijawabnya secara gamblang lagi.
“Apa karena lo masih suka sama gue?”
Viktor tersenyum hampa. “Jawabannya iya dan akan selalu. Rika, gue enggak tau sampai kapan perasaan itu bakalan terus ada. Tapi, lo enggak perlu khawatir. Walaupun gue suka sama lo dan sejak gue confess sama lo, gue udah enggak pernah berharap lagi, Rik. Biarin semesta bekerja dengan semestinya. Gue bakalan terus ikutin alurnya. Mungkin, suatu saat nanti semesta bisa kasih gue keajaiban mengenai perasaan lo terhadap gue. We never know, pwetty.“
“Vik—”
“Rika, lo enggak perlu kasian sama gue kali ini, ya? Terserah lo mau bilang gue si bucin tolol or whatever it is. Tapi, satu hal yang perlu lo tau. Gue bukan bucin, Rika, tapi tulus. Gue beneran tulus, sampai-sampai gue udah enggak menaruh harapan apapun lagi sama lo.”
“Maaf, Viktor,” Rika kembali menangis.
Double kill sekali rasanya malam ini.
“Aduh, sayangnya aku jangan nangis mulu dong. Matanya tuh jadi bengkak,” Viktor kembali memeluk Rika.
“Maaf, gue udah jahat.”
“Enggak jahat. Perasaan kan emang enggak bisa dipaksa, Rika. Dan saat itulah ketulusan mulai berperan. Udah ya, nangisnya?”
Rika mengangguk-angguk pelan dan menyeka air matanya. Viktor mengusap kedua pipi Rika yang basah dan menatap lembut gadis itu. Lalu, mengecup ibu jarinya dan menempelkannya ke pipi kanan Rika—they say it's a thumb kiss.
Viktor sukses mendapat tepakan di kepalanya. Dia tidak meringis dan hanya tertawa renyah.
“Mau night ride atau balik ke rumah?” tawar Viktor.
“Night ride!” jawab Rika dengan antusias.
Viktor menggeleng pelan. “Jangan, nanti masuk angin. Balik aja, ya?”
Bibir Rika melengkung ke bawah. “Terus kalau gitu lo ngapain nawarin?”
Viktor tertawa renyah. “Biar semangatnya balik lagi. Malam ini balik aja, besok selesai kelas gue ajak jalan. Gimana?”
“Sebentar aja deh night ride-nya, ya, ya, ya?” pinta Rika sembari menampilkan puppy face-nya.
Viktor menghela napas pendek. “Ya udah, sebentar aja, ya. Tapi, lo harus pake jaket gue, biar enggak masuk angin.”
“Ah, tapi gue udah pake cardigan.”
“Cardigan lo tipis kayak gitu. Pake jaket gue atau kita balik?”
“Iya, iya pake jaket!”
Viktor tersenyum manis, lalu mengacak-acak pelan rambut Rika. “Good girl!”