—Kala Petang

Nabastala jingga terlihat di ufuk barat, memperlihatkan belayung senja yang tampak indah di mata. Gadis dengan kedua manik cokelat itu terlihat indah dengan siraman sinar belayung senja. Sudah sekitar setengah jam dia berdiri di jembatan penyeberangan orang. Dia suka sekali berdiri di tempat ini, sekadar menikmati senja atau menenangkan pikirannya yang kalut. 

Lalu-lalang kendaraan terlihat jelas di bawah jembatan penyeberangan ini. Dia melirik kilas jam tangan lavender yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul enam sore rupanya. Melamun di tempat ini membuatnya larut dalam suasana dan waktu. 

Kejadian menyakitkan yang terjadi sejak satu minggu yang lalu tiba-tiba terlintas di kepalanya, membuatnya menghela napas kasar. Dia melihat jelas sekali perempuan itu memeluk dan memegang tangan Viktor. Sebenarnya dia bukan tipe orang yang mudah cemburu. Namun, kali ini berbeda. Perempuan itu adalah rasa insecure terbesarnya. Perempuan itu memiliki semua yang tidak ada pada dirinya dan dia yakin bahwa Viktor bisa saja jatuh cinta kapan pun dengan perempuan itu.

Helena, terkenal dengan kepintarannya di kalangan dosen dan mahasiswa, supel, ramah, dan memiliki paras yang cantik serta tubuhnya yang elok. Dia rendah diri sekali, merasa tidak pantas jika disandingkan dengan Viktor. Helena yang lebih pantas bila disandingkan dengan Viktor. Bahkan sebelum Viktor berpacaran dengan Rika, tak jarang Viktor dan Helena dijodoh-jodohkan dengan teman-teman mereka.

Dua hari yang lalu, dia mendapati perkataan yang menyakitkan dari Helena dan membuatnya menangisi dirinya semalaman. Viktor tidak mengetahuinya karena Rika tidak memberitahukannya. Dia tidak ingin Viktor tahu dan membuat semuanya menjadi runyam.

Sudah genap satu tahun mereka menjalani hubungan, kini rasanya Rika ingin menyerah terhadap Viktor. Walaupun dia tahu, Viktor tidak mungkin menyerah terhadap dirinya dan hubungan ini. Mengenai hubungan mereka, Viktor masih belum ingin untuk go public. Hal itu juga membuat Rika kembali over thinking. Rika ingin tahu bahwa Viktor itu sudah ada yang punya. Walaupun dia tahu bahwa Viktor selalu memberi batasan dalam pergaulannya dengan lawan jenis.

“Udah melamunnya?“ 

Rika terlonjak begitu melihat Viktor yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Dia kembali menatap sinis Viktor dan mengabaikannya. 

“Udah sore, ayo pulang,” ajak Viktor sembari menarik tangan Rika. 

Rika menepis tangan Viktor. Hal itu membuat Viktor tertegun. 

Dia sedang dalam masalah besar.

Viktor lebih memilih Rika meledak-ledak daripada diam seperti ini. Rasanya menyakitkan sekali tidak digubris dengan pacar sendiri.

“Rika, jangan kayak gini. Udah lima belas menit kamu diemin aku,” ucap Viktor.

“Aku enggak minta kamu ke sini.”

Kedua pupil Viktor membulat. Lalu, dia memejamkan kedua matanya sembari memijat batang hidungnya, terlihat frustrasi sekali dengan sikap Rika.

“Aku khawatir, Rika. Mana bisa aku biarin kamu sendirian di sini, sedangkan sekarang udah mulai gelap. Kamu pikir aku enggak punya otak, huh?” Viktor mulai tak terkendali.

Rika tak menggubris. Isi kepalanya kembali mengacau dan membuatnya larut sendiri dalam keheningan senja petang ini. 

“Rika—”

Let's break up.”

Sekali lagi, laki-laki itu kembali tercengang dengan apa yang diucapkan oleh Rika.

“Kenapa?”

“Aku …, capek. Kita putus aja, ya?”

Viktor menghela napas berat dan memejamkan kedua netranya sejenak. Dia harus menyelesaikannya dengan kepala dingin.

“Keluarin semua yang udah kamu pendam belakangan ini,” ungkap Viktor. 

Saat Rika ingin membuka bibir tipisnya untuk membalas perkataan Viktor, tiba-tiba ponsel milik Viktor yang berada di saku celananya bergetar, dia berdecak kesal. 

“Sebentar, dari Hasa. Aku jawab teleponnya dulu.”

Lalu, sedikit menjauh beberapa langkah untuk menjawab panggilan tersebut.

“Kenapa telepon gue?!”

Rika terlonjak saat Viktor membentak lawan bicaranya melalui telepon. 

“Emang manusia di kostan cuma gue?! Lo pergi sama yang lain atau sendiri bisa, kan?! Gue sibuk, bangsat! Jangan ganggu gue lagi, ngerti lo?!”

Rika terpekur saat Viktor melontarkan umpatan dengan lawan bicaranya itu. Walaupun Viktor berusaha untuk menjauh dari Rika saat menjawab telepon, suara Viktor tetap terdengar olehnya. Rika tahu bahwa Viktor bukan laki-laki yang mudah mengucapkan kata-kata kasar seperti itu.

Viktor memutus sambungan panggilan masuk tersebut secara sepihak tanpa mendengar balasan dari lawan bicaranya. Dia mematikan ponselnya dan memutuskan kembali menghampiri Rika. 

“Jangan di sini ngobrolnya. Kita pindah tempat,” ajak Viktor sembari meraih tangan Rika yang lagi-lagi dibalas dengan tepisan kasar oleh Rika.

“Aku mau kita udahan, Viktor!” tukas Rika.

“Kenapa? Kasih aku alasan yang jelas dan logis.”

“Aku! Alasannya ya aku, Vik!”

Tell me why?”

“Aku, enggak pantas buat kamu.”

Viktor mengusap kasar wajah dan rambutnya dan menghela napas kasar. “We've talked about this a lot, Rika.”

“Ya, dan kita enggak pernah nemu solusinya—”

Yes, we have! I've told you many times, don't listen to what other people say about you, about us! You always listen to them! But, you never listen to me!” ungkap Viktor frustrasi.

Genangan air mata mulai terkumpul di kedua mata gadis itu. Namun, dia berusaha keras untuk menahan diri agar tidak menangis. Dia benci menjadi cengeng di hadapan laki-laki ini.

“Tapi, apa yang dia bilang itu bener. Aku emang enggak pantas buat kamu. Aku beda sama dia. Semuanya ada di diri dia—”

“Dia? Bilang sama aku, siapa yang kamu maksud dia?” pungkas Viktor dengan air muka yang berubah menjadi dingin dan datar.

Rika terdiam. Dia tidak berani menatap Viktor. 

Look, sayang, kamu bisa cerita apapun sama aku,” tutur Viktor, kini air mukanya terlihat melunak, tatapannya lembut sekali.

Rika tidak dapat menahan tangisnya. Ya, tangisnya pecah begitu saja sembari berkata, “Dia bilang aku enggak pantes sama kamu, aku enggak good looking, enggak berprestasi kayak dia. Kalau boleh jujur, selama satu tahun ini, dia itu, insecure terbesar aku, Vik, selama aku pacaran sama kamu. Aku ….”

Tangis Rika semakin kencang. Viktor terlihat panik, tak banyak yang bisa dia lakukan selain langsung menarik gadis itu untuk masuk ke dalam dekapannya sembari sesekali mengecup puncak kepala gadis itu dan mengusap-usap pundaknya. Sakit sekali rasanya melihat Rika seperti ini. Dia sudah berusaha keras untuk membangun kepercayaan diri gadis ini agar selalu percaya diri dan ceria. Tapi, ada saja orang yang menghancurkan usahanya dalam sekejap.

“Ssshh ..., you are enough, honey. You are enough for me,” tutur Viktor sembari terus mengusap pundak Rika.

No, i'm not,” sahut Rika di tengah-tengah isakannya.

“Siapa yang bilang kayak gitu ke kamu?”

Rika terdiam, tidak berani menjawab.

Viktor menghela napas pelan. “You can tell me anything, sayang.”

“Tapi, janji ya jangan ngapa-ngapain orang itu?”

Viktor mengulum senyum simpul. “I'm sorry, can't promise.

“Helena.”

Viktor tertegun sejenak. “Helena?”

Rika mengangguk pelan.

“Apa-apaan sih dia? Berani-beraninya dia bikin pacar aku insecure dengan kata-katanya yang enggak bermutu. Padahal dia juga belum tentu lebih baik dari kamu,” geram Viktor.

“Vik, jangan aneh-aneh, ya? Dia perempuan, lho, sama kayak aku.”

“Nanti aku tegur dia.”

“Pelan-pelan, ya tegurnya? Jangan kasar.”

“Tapi, dia udah kasar sama pacar aku.”

“Ya kan kamu cowok, coba dong kamu bayangin kalau aku ini dikasarin sama cowok? Gimana? Kamu bakal marah kan?”

Viktor menghela napas pelan. “Iya. Nanti aku tegur dia pelan-pelan.”

“Janji enggak kasar?”

“Iya, sayang. Janji.”

Viktor memejamkan kedua netranya sejenak. Lalu, kembali berkata, “Aku minta maaf ya, sayang.”

Rika melepaskan diri dari dekapan Viktor. “Kamu enggak salah apa-apa. Kenapa harus minta maaf?”

“Aku minta maaf karena enggak pernah tau tentang insecure terbesar kamu. I thought I knew you well, but I don't. I'm truly sorry for that,” ungkap Viktor dengan raut wajah sedih.

Rika menggeleng pelan kepalanya. “Seharusnya aku bisa handle rasa insecurities yang aku punya. Kamu pasti capek ya sama aku? Kamu pasti juga capek sama hubungan ini kan?”

Viktor menghela napas pelan. Dia mengulum senyum, senyumnya terlihat hangat dan menenangkan sekali. “Rika, listen carefully. Kalau aku capek sama kamu, sama hubungan kita, sejak awal aku udah putusin buat berhenti. Buat apa aku nunggu kamu sampai bertahun-tahun? Nunggu kamu peka, lalu sempat menerima penolakan dari kamu, dan rela nunggu kamu putus dari mantan kamu, itu semua enggak mudah. Aku enggak mau mempermasalahkan tentang seberapa sulitnya aku buat dapetin kamu. Tapi, satu hal yang harus kamu tau. Aku, enggak akan menyerah untuk mempertahankan apa yang udah aku dapetin. Termasuk kamu dan hubungan kita. Selama masih bisa dipertahankan, aku akan berjuang untuk itu.”

“Vik?”

“Ya, sayang? Ada lagi yang mau kamu ungkapin? Keluarin semuanya, ya. Anggap aja ini evaluasi buat hubungan kita ke depannya,” tutur Viktor.

“Maaf. Aku bakalan berusaha untuk lebih baik lagi,” ucap Rika.

Satu hal yang akan dan selalu Rika sukai dari laki-laki ini adalah; kesabarannya dalam menghadapi situasi sulit di dalam hubungan mereka.

Satu hal yang akan dan selalu Viktor sukai dari perempuan ini adalah; selalu ingin belajar dan terus belajar mengenai situasi sulit di dalam hubungan mereka.

“Vik.”

“Iya, sayang?”

“Makasih ya, karena enggak pernah menyerah sama aku dan hubungan kita.”

Viktor tersenyum kecil. “Soalnya kalau aku nyerah sama kamu, nanti bahan kejahilan aku jadi berkurang. Terus, nanti siapa yang melatih kesabaran kamu kalau bukan aku?”

Viktor mendapat cubitan di lengannya serta tatapan tajam dari kekasihnya itu.

“Bercanda, sayang. Makasih juga, ya. Karena kamu selalu mau belajar. Aku boleh minta satu hal enggak sama kamu?”

“Apa?”

Viktor menghela napas pelan, lalu bibirnya melengkung ke bawah dengan kedua mata yang berbinar—tampak sedih sekali seperti anak kecil yang baru saja bertemu dengan ibunya setelah sekian lama berpisah. “Jangan kasih aku silent treatment lagi, ya? Serius, aku enggak sanggup. Soalnya enggak bisa charger energi. Apa lagi kalau lagi kangen. Gila, nyiksa banget.”

Rika mengernyitkan dahinya saat melihat tingkah aneh Viktor, terlihat menggemaskan sekali. Lantas dia tertawa, lalu memeluk Viktor sekali lagi sembari menepuk-nepuk pelan pundak Viktor.

“Iya, iya. Aku minta maaf deh.”

“Kamu boleh marah-marah sama aku sesuka kamu, tapi jangan kasih aku silent treatment kayak kemarin-kemarin lagi. Karena aku juga bingung, kamu ditelepon enggak dijawab, aku chat kamu enggak dibales, dan kalau ketemu aku, kamu selalu menghindar. Jangan kayak gitu lagi, ya?”

Rika mengangguk-angguk pelan. “Iya, maaf ya.”

“Utututu, jangan minta maaf terus dong. Sini, sun (cium) dulu dong—”

“Heh, heh! Apa sun sun (cium cium)! Mau kena bogem nih?!” tukas Rika sembari mengepalkan tangannya tepat di hadapan wajah Viktor.

Namun, Viktor berhasil mencium pipi Rika dengan secepat kilat. Lalu, dia berlari sebelum Rika benar-benar melayangkan bogem mentah ke wajahnya.

“VIKTOR, ANJIR!”

“MAAF, SAYANG. SOALNYA KAMU GEMES BANGET!” balas Viktor sembari terus berlari.