☁️ Meet Her ☁️
Kedua kakinya melangkah menaiki tangga demi tangga dengan terburu-buru. Jika dia tidak memperhatikan langkahnya, dia pasti akan terjatuh. Arloji lilac—warna kesukaan gadis itu—yang melingkari pergelangan tangannya menunjukkan pukul satu siang lewat dua menit. Kebetulan sekali saat ini kelasnya sedang mendapat jam kosong. Walaupun begitu, sebenarnya dia mendapatkan tugas dari guru yang bersangkutan.
Niat hati ingin menghabiskan waktu bersama ketiga temannya di kantin, tetapi sesosok manusia mengusik kedamaian hidupnya dan membuatnya tergesa-gesa untuk bergegas menghampiri manusia tersebut.
Jarak dari kantin ke rooftop gedung B—gedung yang dikhususkan untuk kelas XI itu cukup jauh. Hal itu membuatnya menggerutu kesal.
'Anjir, telat beberapa detik. Semoga kertas catatan gue masih aman,' gumam batin Rika dengan napas yang masih tersengal-sengal.
Begitu sampai di tangga rooftop terakhir, dia mengatur napasnya sejenak selama beberapa detik. Lalu, segera membuka pintu rooftop. Kedua matanya menyapu ke seluruh sudut rooftop, hingga akhirnya dia menemukan sesosok manusia yang sudah membuatnya seperti 'kebakaran jenggot'.
Dia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Sosok pria berambut mullet dengan setengah rambutnya yang diikat itu tengah berlutut. Tangan kanannya yang memegang beberapa lembar kertas itu memegang kepalanya. Sementara tangan kirinya berusaha meraih tumpukan-tumpukan meja yang sudah tidak terpakai untuk menjadi tumpuan agar dia tidak terjatuh.
Dia terlihat kesakitan.
Tanpa banyak berpikir lagi, Rika bergegas menghampiri orang itu sebelum terjatuh.
Tubuh tinggi laki-laki itu terasa berat saat Rika berusaha memapahnya untuk duduk di salah satu kursi yang tidak terpakai. Rika mengambil alih lembaran kertas miliknya yang dipegang oleh Viktor. Air muka Rika terlihat sangat khawatir sekali saat melihat wajah pucat laki-laki itu.
“Lo sakit, Vik? Kok muka lo pucat gitu sih?”
Viktor, mengerjapkan kedua matanya berkali-kali sembari memijat pelan dahinya. “Gue enggak apa-apa kok, mungkin anemia gue kambuh.”
“Kalau gitu lo harus minum obat penambah darah, kalau bisa sekalian istirahat. Kita ke ruang UKS aja, ya?”
Perhatian Viktor beralih kepada Rika. Dia menyunggingkan senyum simpul. “Cie..., khawatir, ya?”
Rika menepak kepala Viktor dengan lembaran kertas miliknya. “Lo bikin panik, anjir! Siapa coba yang enggak khawatir, huh?! Tau-tau lo mau jatuh kayak gitu! Untung ada gue, coba kalau enggak—lo tuh dengerin gue enggak sih?! Malah senyum-senyum enggak jelas kayak gitu!”
Viktor terus saja menatap Rika yang sedari tadi mengomel tiada henti. Ya, yang Viktor lakukan hanyalah mendengar celotehan Rika sembari menyunggingkan senyum manis kepada Rika.
“Ya emang kenapa? Lagian, lo tuh bikin gemas sih,” Viktor mengambil jeda sejenak, “kayak barongsai.”
Rika seketika naik pitam. Dia kembali menepak kepala Viktor berkali-kali dengan lembaran kertas miliknya.
“Aduh, aduh! Ampun deh, ampun! Kepala gue sakit lagi nih,” ringis Viktor.
Rika seketika menghentikan aksinya dan kembali panik. “Eh, aduh, maaf, maaf. Makanya lo jangan nyebelin kenapa sih!”
“Tapi bohong,” ledek Viktor seraya menjulurkan lidahnya kepada Rika.
Rika sudah kehabisan kata-kata. “Lo tuh—gila, benci banget gue sama lo!”
Lantas, Rika melenggang pergi meninggalkan Viktor.
“Lo enggak jadi anterin gue ke ruang UKS?” tanya Viktor.
“Gue enggak sudi! Lo pergi ke ruang UKS sana sendiri!” balas Rika masih tetap berjalan menuju pintu keluar rooftop.
“Serius? Ini kepala gue masih sakit, lho. Kalau dipaksa jalan udah kayak melayang.”
“Enggak peduli!”
“Rika, please? Lo pun enggak bilang terima kasih ke gue, lho. Padahal, gue udah menjaga kertas catatan lo dengan sangat baik.”
Rika berdecak kesal. Dia kembali balik kanan dan menghampiri Viktor. Viktor tersenyum menang.
“Terima kasih sudah menjaga kertas catatan saya dengan baik, Tuan Viktor yang terhormat!” ketus Rika.
“Just thank you?”
“Ya udah, ayo ke UKS! Lo mau gue seret atau gimana?!”
“Maunya dipapah aja kayak tadi.”
“Cih! Lo berat, anjir!”
“Ya udah, gandeng gue.”
“Mobil truk, lo? Segala minta digandeng!” gerutu Rika yang pada akhirnya menggandeng Viktor untuk pergi ke ruang UKS.
Sesampainya di UKS, Rika meminta obat anemia kepada petugas UKS yang kebetulan salah satu teman sekelasnya itu. Setelah itu, dia mengambil segelas air mineral untuk Viktor.
“Ini obat sama minumnya,” ucap Rika sembari memberikan segelas air mineral dan obat anemia kepada Viktor.
“Terima kasih, Miss Jutek.”
“Lo kenapa ada di rooftop? Tadi pas gue mau ke rooftop lewat kelas lo, lo lagi pelajaran Bahasa Inggris kan? Lo bolos?”
Viktor meminum obat yang diberikan oleh Rika. Lalu, dia menjawab pertanyaan Rika. “Sebenarnya tadi gue izin ke toilet. Terus, gue ngerasa penat dan gue mutusin buat nge-chat lo, sekalian aja balikin kertas catatan lo yang gue simpan di loker gue.”
Rika hanya ber-oh ria menanggapinya. “Ya udah, lo istirahat aja dulu. Tapi, lo chat itu ketua kelas lo biar diizinin ke Miss Megan kalau lo sakit dan sekarang ada di ruang UKS.”
Viktor mengangguk pelan. “Tapi, lo temenin gue di sini ya?”
Rika menautkan kedua alisnya. “Huh? Enggak. Gue mau balik ke kantin.”
“Tuh, kelas lo jamkos kan? Udah sih, temenin gue di sini sampe jam pulang. Di sini enak, adem, lo bisa tidur juga kan.”
“Lo mau gue gebuk lagi?”
Viktor memajukan bibirnya beberapa senti. Terlihat menggemaskan. “Ya udahlah, terserah lo.”
Viktor membelakangi Rika dan menarik selimut tipis ke seluruh tubuhnya yang berada di ranjang ruang UKS. Rika menaikkan sebelah alisnya, terlihat bingung dengan tingkah laku laki-laki ini.
“Gue balik ke kantin, ya. Cepet sembuh dan terima kasih karena udah simpan kertas catatan gue,” tutur Rika yang akhirnya tetap memutuskan untuk meninggalkan Viktor.
'Gosh! What happened with my heart? Sial. Padahal, dia cuma bilang terima kasih. Kenapa jantung gue selebay ini sih?' gumam batin Viktor di balik selimut.